Kota Amedia: Berbagi Tradisi Ziarah Yahudi, Nasrani dan Islam di Irak

Kota Amedia: Berbagi Tradisi Ziarah Yahudi, Nasrani dan Islam di Irak

Dalam sejarah, kota ini dianggap suci karena pertautan agama-agama besar yang hidup dalam harmoni. Bagaimana keadaannya hari ini?

Kota Amedia: Berbagi Tradisi Ziarah Yahudi, Nasrani dan Islam di Irak

Ketika berbicara tentang Irak, yang hinggap di bayangan adalah; Invasi Amerika, Konflik tanpa henti, dan kekacauan akibat ISIS. Namun siapa sangka Irak masih menyimpan satu harta karun hidup toleran di salah satu kota kecil yang terasing dan jauh dari perhatian dunia, Amadiya.

Amadiya, atau Amadia, dikenal juga dengan Amedia, merupakan sebuah kota kecil di wilayah Kurdistan Iraq. Populasi kota ini sangat kecil, kurang lebih berjumlah 10.000 penduduk. Menurut laporan terkini di laman berita newyork times, kini terhitung hanya sekitar 9000 penduduk di kota ini. Amadiya menjadi saksi sisa peradaban kerajaan Assyria di Mesopotamia kuno, bahkan mungkin sebelum peradaban ‘agama’ sendiri ada. Sebuah catatan menyebutkan kota ini sudah ada sejak abad 20 sebelum Masehi.

Sedikit sekali informasi yang bisa didapat tentang Amadiya. Dalam sejarah agama-agama Ibrahim pun, Amadiya tidak banyak disebut seperti Yerusalem. Meski begitu, Amadiya dipercaya menjadi tempat persinggahan perjalanan tiga orang Majus yang dikisahkan dalam Injil Matius.

Dikisahkantiga orang Majusi datang dari Timur menuju Yerusalem setelah melihat bintang yang menandai kelahiran Yesus. Ketika mereka mendekati Yerusalem, mereka disambut oleh raja Herodes yang meminta mereka untuk menunjukkan keberadaan Yesus.Herodes membujuk, jika mereka menunjukkan keberadaan Yesus dia akan ikut menyambut kelahirannya. Sesampai mereka di tempat kelahiran Yesus, mereka bersujud dan memberi hadiah berupa emas kemenyan dan mur kepadanya. Sebagai tanda bahwa Yesus akan menjadi raja sekaligus pemimpin umat yang akan menebus dosa manusia. Orang Majus ini kemudian mendapat peringatan dari malaikat lewat mimpi, bahwa Herodes berencana membunuh bayi Yesus, sehingga mereka memutuskan untuk pulang melewati jalan lain.

Kini Amadiya merupakan provinsi semi-otonom Kurdistan, dan mencoba bangkit setelah kelelahan dilanda pusaran konflik. Mulai konflik separatis Kurdistan dari pemerintahan Irak, sampai situasi belakangan ketika Amadiya diacak-acak oleh ISIS, diwarnai dengan eksodus penduduk Nasrani dan pembantaian kepada warga Syiah di wilayah ini. Sehingga saat ini mayoritas warga Amadiya menyisakan penduduk Muslim Kurdi yang memilih bertahan.

Pada awal abad kedua puluh tercatat penduduk Amadiya terbagi rata antara Muslim, Nasrani dan Yahudi meskipun jumlah rumah ibadah masing-masing agama tidak merata. Tercatat ada 10 masjid dan terdapat masing-masing dua sinagog dan gereja.

Harmoni kehidupan Yahudi, Nasrani dan Islam di Amadiya terpusat pada satu titik. Bukan kebetulan jika ketiga agama besar dunia ini saling berbagi satu tradisi yang sama, yang bertahan setua umur Ibrahim sendiri, yaitu tradisi ziarah. Terdapat sebuah situs ziarah yang disucikan dan ramai dikunjungi oleh penganuttiga agama di Amadiya. Situs itu adalah makam Hazana, yang oleh penduduk lokal Amadiya diasosiasikan dengan lambang kesuburan dan kesucian. Umumnya penduduk Amadiya beziarah memohon untuk dikaruniai momongan.

Saran Sabah, penduduk lokal yang diwawancarai oleh New York Times dalam liputan tentang Amadiya, membenarkan berkah yang dimiliki oleh makam Hazana. Sebagai seorang Muslimah Sunni, Sabah berziarah ke makam Hazana, dan ia berhasil.

“Saya punya seorang anak perempuan sebagai buktinya,” ungkapnya.

Salah satu gerbang kota klasik Amedia, yang memberi bukti sejarah pertautan tiga agama besar abrahamik di sekitar Iraq.

Sama halnya Amadiya yang terasing dari lembaran sejarah agama-agama Ibrahim, sosok Hazana juga asing, kalau tidak dibilang misterius. Kolom pencarian Google pun tak banyak membantu tentang siapa Hazana ini sebenarnya. Bagi penduduk Amadiya, meyakini keramat makam Harzana tidak perlu pengesahan dari tetek bengek data tertulis. Tradisi komunal, ditambah pitutur bijak dari para orangtua yang sudah berlangsung turun temurun sudah cukup mengesahkan bahwa makam Harzana adalah milik bersama bagi penganut Yahudi, Nasrani dan Islam. Lebih dari itu, makam Harzana merupakan modal hidup bersama yang harus selalu dihidupi.

Hazana diyakini sebagai anak dari nabi Daud. Konon, ia dipercaya juga sebagai salah satu nabi. Nama Hazana sendiri juga kerap diasosiasikan dengan Hezkiel, atau Ezekiel karena makam Hazana dulu merupakan sebuah sinagog Knis Navi Yehezqel. Seperti namanya, sinagog ini didedikasikan kepada Ezekiel, namun penduduk Yahudi lokal tetap menganggap Hazana dan Ezekiel merupakan figur yang berbeda.

Ezekiel sendiri dalam tradisi Islam merujuk kepada sosok nabi Dzulkifli.Adapun makam Ezekiel, atau nabi Dzulkifli sendiri terletak di Al Kifl, salah satu kota di Irak.

Makam Hazana sendiri tersembunyi dan tidak banyak hiasan atau cungkup seperti makam nabi atau orang suci pada umumnya. Di tengah puing-puing bekas reruntuhan sinagog, terdapat taman pohon ara dan buah delima, juga tanaman kembang sepatu yang tidak terawat namun sangat rimbun. Kain doa ungu dan biru, yang digunakan oleh orang-orang yang datang untuk berdoa kepada Hazana, tergantung di beberapa semak-semak.

Di sekitarnya terdapat tumpukan puing, balok bangunan batu tua dan dinding sisa-sisa sinagog itu sendiri. Lalu ada tangga batu yang menurun, menuju ke sebuah ruangan makam bawah tanah. Sarkofagus Harzana sendiri sangat sederhana, hanya berbentuk persegi panjang. Di atas sarkofagus terdapat coretan dinding bergambar bintang David disertai beberapa larik syair dalam huruf Ibrani.

Bukan suatu hal yang aneh menjumpai warga Yahudi atau Nasrani berziarah dan memanjatkan doa di makam Hazana. Bahkan warga Yahudi yang sudah eksodus ke Israel pun sesekali mengunjungi dan membersihkan makam ini, selain berdoauntuk hajat mereka. Akan tetapi sejarah panjang tiga agama Ibrahim yang hidup dalam harmoni di kota ini, mungkin kini tinggal cerita. Penduduk Yahudi mulai keluar dari Amadiya seiring dengan terbentuknya negara Israel di tahun 1948. Eksodus penduduk Nasrani pun terjadi sejak kota ini terkena imbas serangan ISIS.

Sama halnya sosok Hazana, Amadiya tetap saja asing dan kurang dikenal oleh penduduk dunia. Koeksistensi kehidupan antara Yahudi, Nasrani dan Islam yang dulu dibanggakan pun kini terkikis. Menyisakan cerita yang bergantung pada lidah orangtua ke telinga anak-anaknya. []

*Diterjemahkan oleh Rifqi Fairuz dari tulisan Rod Norland di www.nytimes.com bertajuk  An Iraqi Town Where Muslims, Jews and Christians Coexist, in Theory