Korupsi dan Terjungkalnya Muruah Kementerian Agama (Bagian-2)

Korupsi dan Terjungkalnya Muruah Kementerian Agama (Bagian-2)

Bagaimana Romahurmuzy menjadi pintu masuk di persoalan ‘Kementerian Agama’

Korupsi dan Terjungkalnya Muruah Kementerian Agama (Bagian-2)

Terciduknya Romahurmuzy oleh KPK akan menambah panjang citra buruk Kementerian Agama. Kita semua tidak bisa menutup mata. Apapun alasannya. Entah karena apes atau alasan apapun, yang jelas Romahurmuzy telah resmi berseragam orange KPK. Dan kita berharap dugaan keterlibatan Lukman Hakim Saefudin tidak terbukti. Uang ratusan juta rupiah dan puluhan ribu dollar yang disita KPK, semoga bukan uang haram, tetapi uang yang memang bisa dipertanggungjawabkan oleh Menteri Agama.

Kalau sampai Menteri Agama terbukti ada keterlibatan, maka pantaslah Kementerian Agama akan semakin terjungkal muruahnya. Tetapi apabila Menteri Agama terbukti tidak terlibat, insya Allah muruah Kementerian Agama akan terjaga.

Saya hanya ingin bercerita betapa bobroknya birokrasi di Kementerian Agama, meskipun bobroknya sistem birokrasi ini bisa terjadi serupa di Kementerian lain. Saya kenal baik dengan salah satu guru Madrasah Aliyah Negeri.

Ia seorang guru laki-laki yang alim dan pandai kitab kuning. Tetapi sepanjang pertemanan saya dengan yang bersangkutan, ia hampir selalu mengatakan tidak akan pernah ada guru Madrasah, terutama Kepala Madrasahnya, berikut secara kelembagaan yang tidak terlibat korupsi. Terlepas dari besar atau kecilnya korupsi itu. Berbagai pemalsuan dan manipulasi administrasi Madrasah sudah bukan barang baru.

Di lain cerita, saya juga kenal baik dengan salah seorang dosen perempuan di salah satu Perguruan Tinggi yang berada dalam naungan Kementerian Agama. Ia juga saya kagumi. Pemikiran dan kecerdasannya sangat luar biasa. Tetapi, saat yang bersangkutan menjadi salah satu pejabat kampus, ia tetap terkena virus birokrasi yang rusak.

Maksud saya, saya mendapatkan informasi dari teman saya yang bekerja di hotel. Nah dosen yang bersangkutan ini memintanya–yang notabene petugas hotel–untuk memanipulasi bill (tagihan) sedemikian rupa. Teman saya–yang menjadi petugas hotel–jelas-jelas tidak mau diajak curang. Akhirnya dosen tersebut pun mengagalkan rencananya untuk menyewa hotel karena permintaannya tidak dipenuhi.

Tingginya jabatan dan keilmuan seseorang, ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kejujurannya. Dua kasus yang saya temui secara nyata itu hanya contoh saja, betapa perilaku korupsi sangat sulit dicegah dan ditindak, karena telah sedemikian sistematis dan dilakukan secara rombongan.

Saya tidak ada niat menjelek-jelekkan dan apalagi sekadar ikut-ikutan menggoreng kasus yang menimpa Kementerian Agama. Kasus ini menjadi ‘tamparan tuman’ saja bagi kita semua agar kita bisa serius melawan korupsi. Caranya?Kita mulai dari diri sendiri. Dari di mana kita bekerja dan mengabdi. Buat apa uang banyak dan jabatan tinggi tetapi hasil dari korupsi. Lebih baik hidup sederhana dengan kejujuran.

Wallaahu a’lam