KH. Abdul Razak Fakhruddin adalah salah seorang tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah dari tahun 1968 hingga 1990. Rentangan waktu 32 tahun sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah ini menahbiskan dirinya menjadi ketua umum Muhammadiyah terlama sepanjang sejarah –yang hingga hari ini belum terpecahkan dan mungkin seterusnya.
Kiai yang lahir di Pakualaman Yogyakarta tahun 1915 ini memiliki kisah menarik saat melakukan ibadah haji. Bahkan menurut Kiai yang naik haji tiga kali ini berpesan kepada para jamaah haji agar dalam beribadah haji jangan ada rasa kearab-araban. Berikut penuturannya:
Saya tiga kali naik haji. Pertama, tahun 1965, sebagai MPH (Majelis Pimpinan Haji). Kedua, saya mendapat undangan dari Menteri Agama, waktu itu Bapak Alamsyah Ratuperwiranegara. Ketiga, 1992 bersama – sama Pimpinan Pusat Muhamadiyah memenuhi undangan kerajaan Arab Saudi. Kami berangkat berlima bersama K.H Ahmad Azhar Basyir, H.Prodjokusumo, Drs. Sutrisno Muhdam dan H. Rosyad Sholeh.
Di dalam Al-Quran memang ada wahyu, perintah kepada Nabi Ibrahim agar mengundang seluruh umat manusia untuk pergi haji. Mereka akan datang ke Tanah Suci , termasuk mereka yang datang dari jauh. Kemudian ada kepercayaan bahwa orang tidak akan pergi haji kalau belum ada panggilan Nabi Ibrahim. Tetapi kalau saya tidak begitu. Soal pergi haji itu adalah manistato’a alaihis sabila. Kalau ada kesempatan secara otomatis sebenarnya sudah ada panggilan.
Menurut Nabi, ibadah haji yang benar atau yang mabrur adalah haji yang bersih dari kesalahan. Oleh Nabi dikatakan haji yang benar pahalanya adalah surga. Artinya haji yang ikhlas baik jauh dari cabul, dosa kecil – kecil, bertengkar, maka pahalanya adalah surga.
Dalam berhaji saya mengharapkan jangan ada rasa kearab-araban. Sampai – sampai saya mengatakan, andaikata pergi ke Makah tidak karena perinta Allah (Apalagi pada haji yang pertama kali saya masih muda kira-kira 49 tahun) lebih baik saya pergi ke negeri yang lain yang lebih indah. Tanah arab itu kan padang pasir belaka. Orang Arab melihat oase atau belik kalau di sini, dengan sedikit pohon kurma sepertinya sudah melihat junaihat atau surga yang kecil. Maka saya ke Arab untuk menunaikan ibadah haji semata – mata hanya karena panggilan Allah.
Kepada orang Arab saya bersikap biasa saja. Ketika kapal mau berhenti ke Jedah, sebagai pemimpin haji saya kumpulkan para jamaah. Saya minta kepada mereka untuk tidak bersikap berlebihan kalau bertemu dengan orang Arab. Jangan sampai memberi hormat yang berlebihan.
Ketika saya sudah melihat Ka’bah saya sangat bersyukur. Ka’bahnya itu biasa saja. Tapi kok saya sudah sampai di Makah. Rasa saya benar – benar menghadap Allah. Lebih–lebih ketika pergi ke Madinah melalui jalan yang sudah baik, saya menangis terharu mengingat Rasulullah. Pada permulaan menyiarkan agama Islam betapa berat cobaan yang dihadapi Rasullulah. Hormat saya kepada Nabi karena ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan ketika menyiarkan agama Islam. Kok saya sampai juga di Tanah Suci Makah. Seolah–olah saya menghadap Allah.
Kopiah Hitam
Kopiah hitam bagi bangsa Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai penutup kepala. Lebih dari itu kopiah hitam merupakan salah satu simbol kepribadian. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menceritakan bahwa Soekarno pernah berkata, “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.
Lekatnya Soekarno dengan peci hitam ini bagi AR Fakhruddin memiliki cerita tersendiri. Pada tahun 1965, setiap orang Arab yang memandang saya, karena saya memakai kopiah (hitam), pasti mereka bertanya, “Soekarno, ya?” Saya jawab, “Iya, iya Soekarno.” Pada waktu itu memang Bung Karno sangat terkenal di Negara-negara Arab. Bagi saya, naik haji di tahun 65 ini sangat mengesankan. Kenang AR Fakhruddin.
*) Disarikan dari buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993)
**) Umi Hani, Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati