Keterbelahan masyarakat Indonesia yang demikian tajam akibat kompleksitas perbedaan preferensi politik, ideologi, suku, agama, dan ras, terasa kian hari kian meruncing.
Belantara luas medsos memungkinkan publik menyerap dan menanggapi peristiwa-peristiwa sosial politik dengan cepat, instan, dan lantang. Dan itu, pada ukuran tertentu, membuat polarisasi menjadi kian tajam. Setiap orang seperti digiring untuk berada di ujung jauh salah satu kubu.
Dan celakanya, kedua kubu sering kali berbagi nilai-nilai yang sama, yaitu radikalisme dan ekstremisme. Yang satu mengaku membela agama namun tutur kata dan perilaku anarkisnya sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh agamanya, yang lainnya mendaku sebagai nasionalis Pancasila namun pandangan dan ungkapan-ungkapan rasisnya berbanding terbalik dengan semangat kebhinekaan yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa.
Di medan perselisihan yang tidak sehat seperti itu, dibutuhkan kearifan para sokoguru bangsa (baik tokoh maupun lembaga) guna mendinginkan suasana dan meredakan api kemarahan pihak-pihak yang bertikai.
Dari unsur Islam, ormas-ormas keagamaan besar seperti NU dan Muhammadiyah selama ini telah menjalankan tugas itu dengan baik, yaitu konsisten mempromosikan moderasi dan menyikapi dengan bijak setiap permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Kedua ormas yang merepresentasikan mayoritas umat Islam Indonesia itu, senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.
Sikap keberagamaan yang dikenal sebagai Islam Wasathiyah atau Islam Tengah (moderat) itu, berangkat dari kesadaran untuk menjaga pendulum keberislaman bangsa Indonesia tidak bergerak ke kiri (liberal dan sekuler) dan ke kanan (konservatif dan fundamentalis).
Sebagai konsekuensi dari posisi yang diambilnya, secara organisasai kedua ormas Islam itu selalu mengedepankan moderasi dan menjaga jarak yang sama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan politik. NU dan Muhammadiyah secara elegan akan memberikan pandangan dan nasihatnya tanpa harus terlibat dalam pemihakan secara langsung pada salah satu kubu anak bangsa yang tengah berselisih.
Posisi dan tugas seperti itu pada dasarnya juga diemban oleh Rabithah Alawiyah (RA) sebagai ormas yang konon mewakili para habaib di seluruh Indonesia. Dengan klaim dan legitimasi semacam itu, RA dituntut untuk mampu menunjukkan kesetiannya pada karakter keagamaan dan posisi sosial para pendahulu habaib, yaitu akhlak, hikmah, dan guru masyarakat.
Para habaib terdahulu kerap didaulat sebagai guru masyarakat dan menjadi payung peneduh dari panasnya konflik sosial politik. Sikap bijak mereka tercermin dari kemampuan mereka mempertahankan diri untuk tidak terjerumus ke dalam keterlibatan langsung dalam berbagai kontestansi politik kekuasaan yang terjadi di antara anak bangsa.
Dalam setiap gesekan politik dan keagamaan yang terjadi dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka senantiasa berada di posisi tengah sehingga mampu memandang kedua kubu yang berselisih dari sudut yang sama.
Ajaran tasawuf di kalangan hababib, yaitu Tarekat Alawiyah, yang dengan setia digenggam sebagai pemandu dalam laku sosial, telah berhasil menjaga para habaib pendahulu dari sikap ekstrem dan sekaligus dari pengkubuan kelompok politik.
Karakter dan posisi sosial seperti itu, yang dirawat secara tradisional oleh RA sejak kelahirannya 94 tahun lalu, tampaknya mengalami perubahan yang cukup dramatis. Itu ditandai dengan pernyataan sikap DPP Rabithah Alawiyah terkait kontroversi statemen menteri agama terkait surat edaran pengaturan pengeras suara masjid.
Pernyataan sikap yang diedarkan pada 27 Februari 2022 itu sangat berbeda dengan yang pernah disuarakan RA pada masa-masa sebelumnya. Isinya sama sekali tidak mencerminkan gaya komunikasi yang mengacu pada adab dan metode dakwah para pendahulu, yaitu akhlak, hikmah, dan moderasi.
Redaksional pernyataan sikap RA kali ini terasa tidak dilahirkan dari kerendahan hati dan kedalaman spiritual yang menjadi ciri menonjol para pendahulu habaib, melainkan dari kerangka berpikir yang dibangun di atas semangat penghakiman religius.
Terlepas dari keberagaman pihak yang tersinggung dengan kecerobohan Menag dalam membuat ilisutrasi pembanding kebisingan pengeras suara masjid, sangat mudah dideteksi bahwa peristiwa itu telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh kubu yang bersebarangan dengan Yakut Cholil Qoumas, untuk menyerang dan menjatuhkannya.
Kelompok-kelompok Islam politik seperti HTI, PA 212 dkk yang selama ini berseberangan dengan Menag, dan juga kekuatan-kekuatan politik yang beroposisi dengan pemerintah, jelas menjadi pihak yang paling giat memobilisasi aksi pengecaman.
Ketidakcakapan Menag dalam menyampaikan apa yang hendak disampaikan itu, dibelokkan dan diarahkan sedemikian rupa melalui berbagai hujatan dan aksi unjuk rasa, dengan tujuan membangun opini di benak publik bahwa Menag telah melakukan blasphemy.
Fakta bahwa Yakut Cholil Qoumas merupakan seorang muslim dan tokoh penting dari sebuah ormas Islam terbesar (dengan demikian tak ada alasan masuk akal yang bisa membuat orang berpikir bahwa ia memang sengaja menghina Islam, terlebih lagi dalam posisinya sebagai seorang menteri agama), diabaikan.
Dengan berbagai narasi yang disuarakan secara massif, kejadian “selip lidah” Yakut Cholil Qoumas itu dibingkai dan dikesankan sebagai penghinaan terhadap Islam, seolah-olah sang menteri agama adalah orang yang sangat jauh dari Islam.
Di sinilah diperlukan peranan para sokoguru bangsa untuk meredakan kemarahan dan mengurai kesalahpahaman. Kearifan mereka dibutuhkan untuk memediasi antara pihak yang melakukan kekeliruan komunikasi dan pihak-pihak yang marah dan yang diprovokasi untuk marah.
Namun sayangnya, alih-alih melakukan tugas moral ini, secara mengejutkan pagi-pagi sekali RA justru mengeluarkan pernyataan sikap dengan narasi yang ofensif dan provokatif. Persis dengan yang dibangun oleh kelompok kelompok Islam kanan, narasi RA begitu telanjang dan vulgar.
Setelah didahului dengan kalimat yang menyatakan keyakinan bahwa pernyataan Menteri Agama tidak bermaksud untuk menyakiti siapa pun, RA mengimbau kepada beliau untuk segera bertaubat kepada Allah atas statemen yang yang secara lahir merendahkan azan, dengan beristigfar dan syahadat.
Melaui diksi-diksi yang dipilih, yaitu bertaubat, beristigfar dan syahadat, RA seperti ingin mengirimkan pesan bahwa yang dilakukan oleh Menag bukanlah sekadar kesalahan dalam konteks kebahasaan atau komunikasi, melainkan menyentuh persolan akidah yang sangat serius.
Dengan demikian, kesalahan sang menteri agama itu dianggap sebagai sebuah dosa bosar yang mengharuskan ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Lebih jauh dari itu, anjuran untuk bersyahadat itu dapat ditafsirkan bahwa Menag telah dianggap murtad. Sebab, dalam Islam, pembacaan syahadat dikenal sebagai syarat bagi non-muslim yang hendak pindah agama ke Islam. Juga bagi muslim yang keluar dari Islam dan ingin kembali memeluk Islam.
Pernyataan sangat keras ini tentu saja membuat banyak habaib terkejut. Mereka tak habis pikir bagaimana RA bisa menerbitkan pernyataan sikap sekasar itu. Tidak sedikit habaib yang berpendapat bahwa selain tidak mencerminkan karakter dan adab dakwah para habaib pendahulu, pernyataan sikap itu juga merefleksikan kesembronoan.
Sebagai paguyuban kekerabatan bani Alawy, meski tentu saja tidak mewakili seluruh bani Alawy yang pada dasarnya memang beragam dari sisi preferensi politik dan pandangan keagamaan, RA seharusnya paham bahwa sikapnya akan dinilai sebagai sikap seluruh bani Alawy. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kearifan para elite pimpinan RA. Ketua Umum RA sebagai satu-satunya penandatangan pernyataan sikap itu, diharapkan menyadari bahwa ada gerbong panjang di belakangnya.
Dan sang ketua umum juga musti memastikan bahwa sikap organsiasi yang dipimpinnya telah sesuai dengan karakter keberagamaan para habaib pendahulu, yaitu Islam Wasathiyah, santun, dan menjauhi keterlibatan dalam politik partisan.
Jika tidak, dikhawatirkan Rabithah Alawiyah akan dikenal sebagai ormas yang menyuarakan Islam pemarah, dan seluruh habaib kembali akan menuai getah.[]