Kontribusi Islam dalam Penghapusan Diskriminasi Rasial

Kontribusi Islam dalam Penghapusan Diskriminasi Rasial

Dua hari yang lalu kita memperingati Hari Penghapus Diskriminasi Rasial, bagaimana Islam memandang persoalan ini

Kontribusi Islam dalam Penghapusan Diskriminasi Rasial

Dua hari yang lalu, 21 Januari, dunia internasional memperingati Hari Penghapus Diskriminasi Rasial. Mengutip situs kumparan, hari penghapusan diskriminasi internasional ini didasari pada peristiwa penembakan demonstran penolak Apartheid di Afrika Selatan, pada 21 Januari 1960. Seperti kita ketahui, Apartheid adalah salah satu kebijakan rasis yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Afrika Selatan untuk mendiskriminasi penduduk berkulit hitam. Salah satu tokoh demonstran yang terkenal, adalah mendiang Nelson Mandela, yang kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan pasca aturan itu dicabut.

Terkait dengan diskriminasi, hari ini sebenarnya masyarakat dunia secara global sebenarnya sangat menolak diskriminasi baik dalam bentuk Suku, Agama dan Ras. Namun, tetap masih ada sekolompok masyarakat yang mempraktikkan diskriminasi. Belum lama ini, tindakan terorisme Christchurch, Selandia Baru dilakukan oleh orang yang mendaku orang kulit putih atau Eropa sedang ditindas oleh muslim. Atas kebencian yang mendalam, ia kemudian nekat untuk menembaki sekitar 40 orang muslim di dalam masjid setelah baru saja selesai shalat Jumat di Masjid An-Noor, Chirstchurch. Peristiwa ini mengagetkan. Dan, hampir semua warga Selandia Baru simpati terhadap peristiwa pilu ini dan mengutuk perilaku teroris bernama Tarrant ini.

Teladan dalam Islam

Bukan bermaksud untuk mencari-cari pembenaran, tapi dalam pengertian diskriminasi rasial, Islam sangat menentang perilaku tersebut. Di dalam al-Qur’an, Allah sendiri yang menegaskan bahwa ia menciptakan manusia saling berbangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Dan, apa yang menjadikan seseorang itu lebih baik dari yang lain adalah ketakwaannya, bukan yang lain. Allah berfirman dalam surah al-Hujurat: 13,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia!, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian semua berupa laki-laki dan perempuan, dan (dari itu semua) kami jadikan kalian (beranak pinak) menajdi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (dan memahami). Sesungguhnya yang paling mulia dari mereka semua disisi Allah adalah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.

Kenapa yang dikejar adalah takwa? Karena tugas manusia yang paling pokok di dunia ini adalah beribadah kepada-Nya. Beribadah maknanya adalah menghamba kepada yang Maha Menciptakan, yaitu Allah Swt. Allah berfirman dalam surah Adz-Zariyat: 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.”

Spirit dari beribadah adalah menyadari, bahwa kita semua di dunia ini adalah bagian dari sistem maha besar alam semesta yang diciptakan Allah SWT di dunia ini. Jika dibandingkan dengan bumi saja, satupun dari manusia tidak terlihat. Karena itu, bagaimana bisa seorang manusia merasa lebih baik dan lebih unggul sehingga bisa melakukan diskriminasi terhadap ras lain padahal mereka semua adalah ciptaan Tuhan.

Sepanjang dakwah kenabian, Nabi Muhammad SAW terus mendorong agar setiap orang berhasil menjadi orang yang baik dan bertakwa, darimanapun ia berasal dan apapun latar belakangnya. Di zaman Nabi, ketika terjadi perbudakan, Rasulullah SAW adalah diantara sosok yang mendorong agar budaya tersebut hilang. Hasilnya, terbukti budaya tersebut bisa dikatakan hampir hilang, paling tidak hilang sama sekali di kalangan mereka yang masih beragama Islam.

Ada banyak sosok yang misalnya bukan berasal asli bangsa Arab, atau punya masa lalu yang buruk, namun tetap menjadi teladan bagi yang lain. Mulai dari Bilal bin Rabah (budak hitam dari Afrika, dimerdekakan oleh Abu Bakar As-Shiddiq), Salman al-Farisi (orang Persia, perumus strategi perang Khandak), hingga Abu Dzar al-Ghifari (mantan penyamun).

Ada banyak yang berdalih bahwa ajaran Islam masih “melestarikan” perbudakan (yang berarti setara bahkan lebih besar dari diskriminasi) karena di banyak ayat al-Qur’an ada ayat-ayat hukum dimana salah satu hukumannya adalah memerdekakan budak. Apakah dengan demikian, Islam tetap merestui perbudakan, sementara hari ini perbudakan atas manusia sama sekali dilarang?

Tentang hal ini, K.H. Maimun Zubair, ulama kharismatik Indonesia menulis dalam kitab al-‘Ulama al-Mujaddidun (h. 12-13) bahwa hukum tentang memerdekakan budak jika melakukan pembunuhan yang tidak sengaja, tidak akan dihapus dan selamanya dalam Alquran. Namun, penghapusannya oleh hukum internasional (dalam hal ini, PBB: al-Umam al-Muttahidah), menjadikan hukum ini tidak bisa dilaksanakan. Berikut pertanyaan beliau,

اعلم أن أحكام القرآن لا تنسخ بعد وفاة رسول الله صلى الله عليه وسلم مع العلم بأن بعضها لم يستطع المسلمون العمل به مثل عتق الرقبة في كفارة القتل الخطأ وكفارة اليمين. وذلك لأن الأرقاء قد أبطلتها قوانين الأمم المتحدة فانقرض بذلك أيضا مصرف عتق الرقبة الذي هو أحد مصارف الزكاة الثمانية المنصوصة في القرآن الكريم

“Ketahuilah bahwa hukum-hukum Alquran tidak bisa dianulir pasca wafatnya Rasulullah SAW namun dengan tetap mengetahui (bersama) bahwa sebagian hukum itu tidak bisa diamalkan oleh muslimin, seperti memerdekakan budak sebagai kifarat membunuh yang tidak disengaja atau melanggar sumpah. Itu dikarenakan perbudakan telah dihapus oleh hukum PBB, maka hilanglah juga prosedur memerdekakan budak, sebagai salah satu delapan kelompok yang disalurkan kepadanya mereka zakat, seperti yang disebut dalam Alquran.

 Dari sini, tuduhan bahwa orang Islam melestarikan perbudakan adalah tidak tepat. Yang benar adalah Islam mendorong untuk menghapuskannya, meskipun kalaupun terjadi kembali maka ada sumber hukum yang siap digunakan yang semangatnya sebenarnya juga menjadikan para budak terbebas.