Ibnu Khaldun ketika menjelaskan Ashabiyyah dalam kitab al-Muqaddimah sebenarnya ingin memperluas teorinya ini sampai meliputi pembahasan tentang khilafah dari awal kemunculan sampai di akhir keruntuhannya.
Kendati demikian, karena khalifah pertama bukan dari kabilah Quraisy yang terkuat yang seharusnya dalam logika Ibnu Khaldun diisi oleh Bani Umayyah atau Bani Hasyim, tentu jalan keluarnya ialah mencari hilah –dalam bahasa fikihnya- yang dapat menyelamatkan teorinya tentang Ashabiyyah ini.
Jalan keluarnya tentu tidak lain ialah dengan mengembalikan semua kejadian di era kenabian dan di era awal khilafah kepada fenomena yang disebut Ibnu Khaldun sebagai al-kawariq wal adat (peristiwa luar biasa). Jalan keluar ini tentu memiliki tujuan ganda:
Pertama, tujuan dari dikembalikannya fenomena kemunculan khilafah yang tidak dipimpin oleh sosok yang berasal dari kabilah dengan ashabiyyah terkuat kepada al-khawariq wal adat ialah untuk menyelamatkan teori ashabiyyah yang dicetuskannya sendiri yang menuntut tampuk kekhilafahan atau kepemimpinan di kalangan masyarakat Arab saat itu harus diisi oleh kabilah dengan ashabiyyah terkuat, dan kepemimpinan khilafah ini hanya terwariskan kepada kabilah yang paling kuat.
Karena khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW wafat diisi oleh Abu Bakar, sementara Abu Bakar sendiri berasal dari Bani Taym yang merupakan kabilah Quraisy terlemah, maka satu-satunya solusi untuk mengatasi kekurangan ini ialah dengan mengembalikannya kepada mukjizat atau peristiwa luar bisa. Mukjizat Nabi telah mampu menyihir orang-orang Arab untuk tidak mempertimbangkan ashabiyyah sebagai faktor utama dalam memilih pemimpin. Dengan kata-kata lain, masyarakat Arab saat itu lupa – walaupun untuk sementara waktu – untuk menjadikan ashabiyyah terkuat sebagai prasyarat kepemimpinan.
Kedua, tujuan dari dikembalikannya fenomena kemunculan khilafah yang tidak dipimpin oleh sosok yang berasal dari kabilah dengan ashabiyyah terkuat kepada al-khawariq wal adat ialah memberikan legitimasi terhadap pemerintahan para raja di masa Ibnu Khaldun hidup yang tidak lagi berasal dari keturunan Arab Quraisy. Hal demikian dapat kita lihat dari illat atau alasan yang dikemukakannya sendiri bahwa di balik pensyaratan Quraisy itu ada tujuan utamanya, yakni yang memimpin umat ialah orang yang memiliki ashabiyah terkuat. Di masa awal-awal Islam, syarat Quraisy ini sangat diperlukan untuk bisa memegang tampuk kekuasaan seperti di masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Keduanya berasal dari kabilah Quraisy.
Sampai di sini kita melihat bahwa Ibnu Khaldun sedang memberikan legitimasi bagi kepemimpinan para raja di masanya itu. Hal demikian sama halnya dengan yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali sebelumnya ketika mencoba mendukung dan memberikan legitimasi bagi sultan al-Mustadzhiri dalam kitabnya yang terkenal al-Iqtisad fil I’tiqad. Imam al-Ghazali dalam hal ini mengatakan demikian:
“Kalau seandainya setelah wafatnya pemimpin dari Quraisy ini tidak ada satu pun pemimpin yang benar-benar dari Quraisy, namun pemimpin non-quraisy ini sangatlah ditaati dan diikuti, serta ia mampu memegang tanggung jawab kepemimpinan, memimpin dengan kekuatannya dan kharismanya, dan semua orang tunduk atas kekuasaannnya, serta ia juga memiliki kecakapan memimpin, tentu pemimpin non-quraisy ini sah kepemimpinannya, dan wajib ditaati karena kekuatan dan kecakapannya tersebut.”
Pandangan Imam al-Ghazali ini jelas sangat menarik. Dalam kutipan di atas, al-Ghazali menggunakan istilah baru dalam syarat kepemimpinan, yakni tidak lagi dikembalikan kepada ke-Quraisy, tapi kepada syaukah dan kifayah. Syaukah inilah yang kemudian dibahasakan kembali oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah sebagai ashabiyyah.
Oleh karena itu, boleh jadi Imam al-Ghazali ini memiliki pengaruh yang cukup besar bagi teori ashabiyyah yang dicetuskan oleh Ibnu Khaldun ini atau bisa jadi juga teorinya Ibnu Khaldun tentang Ashabiyyah ini mendapat inspirasinya dari konsep syaukah wal gholabah yang dicetuskan para ulama sebelumnya terlebih Imam al-Ghazali. Kita lihat dalam Fadaih al-Bathiniyyah bagaimana al-Ghazali mempertahankan pandangan ketidakharusan pemimpin dari Quraisy:
“Menurut hemat kami kepemimpinan dapat dikatakan sah melalui mekanisme syaukah (kekuatan dan kecakapan), sementara syaukah sendiri akan terwujud melalui mekanisme baiat…kendati demikian, yang kami maksud dengan baiat bukanlah identitas pemimpin yang dibaiatnya (yang dari Quraisy). Adanya baiat karena adanya kecakapan dan kekuatan sang pemimpin dalam memperoleh dukungan dan simpati masa.”
Penegasan al-Ghazali di sini tentang keharusan adanya syaukah dalam menjadi pemimpin umat menandai fase baru dalam teori khilafah menurut Ahlu Sunnah yang sebelumnya mensyaratkan keharusan dari kabilah Quraisy, dan tentu fase berikutnya dari teori as-syaukah yang diperkenalkan al-Ghazali ini ialah teori ashabiyyah yang dicetuskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah-nya. Tentu, melalui syaukah dan ashabiyyah ini, baik Imam al-Ghazali maupun Ibnu Khaldun, sebenarnya sedang membangun basis legitimasi bagi pemerintahan sunni yang ada di masa mereka. Allahu A’lam.