Di Tangerang, seorang biksu diusir dari rumahnya, karena dianggap meresahkan warga. Mereka takut ada gerakan pemurtadan sehingga perlu mengambil tindakan. Biksu itu lalu diminta membaca surat perjanjian tidak melakukan ritual dan ibadah agama Buddha di rumah. Video pembacaan surat perjanjian itu viral, menyita perhatian dan mengundang keprihatinan. Sejumlah warganet tak bisa menyembunyikan kegeramannya.
Di Sleman, seorang pemuda masuk ke gereja pada suatu pagi. Di tangannya tergenggam sebilah pedang. Tanpa banyak kalam, ia begitu saja mengayunkan pedang menyerang jemaat gereja. Romo Karl Edmund Prier yang memimpin misa juga tak luput dari sabetan pedangnya. Patung-patung di gereja ia rusak pula. Ia baru bisa dilumpuhkan setelah dua timah panas menerjang kakinya. Usia pemuda itu 22 tahun. Mengaku membenci orang kafir dan ingin dapat bidadari.
Mencermati dua kejadian di atas, berdesakan sejumlah pertanyaan di kepala saya: apakah sebetulnya mereka sedang menginginkan dan mengupayakan sebuah negara dengan hanya satu agama? Satu warna yang dominan, tanpa keragaman sama sekali. Apakah itu yang mereka mau? Apakah mereka berpikir jika tanpa perbedaan, hidup mereka jadi jauh lebih baik dan lebih tenang? Apa mereka mau cuma ada satu tempat ibadah, satu simbol agama? Semua serba tunggal.
Padahal, sependek pengetahuan saya, sudah menjadi sunatullah manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Perbedaan adalah hal lumrah belaka. Antar agama, suku dan ras silakan saling berlomba dalam kebaikan. Soal siapa yang akan menghuni surga atau neraka, biarkan Allah yang menentukan. Dan manusia tak perlu mati-matian mengambil alih hak yang memang menjadi milik Allah itu.
Saya teringat pandangan Graham E. Fuller dalam bukunya yang berjudul cukup provokatif: A World Without Islam. Apakah jika seandainya dunia tanpa Islam, tragedi 9/11, misalnya, tak kan terjadi? Atau Perang Salib tak pernah ada? Fuller berpendapat hubungan antara Barat dan Timur, tidak semata soal agama, bukan hanya tentang Islam dan selain Islam. Relasi itu begitu kompleks, ada urusan ekonomi, politik, budaya, nasionalisme, kepentingan-kepentingan, persaingan-persaingan. Jadi, andai Islam tak pernah ada “ketegangan Barat-Timur” bisa saja tetap terjadi. Karena, sekali lagi, ini bukan tentang agama belaka.
Saya kira, agama manapun landasan utamanya adalah kasih sayang, persaudaraan, kemauan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang nyaman ditinggali. Sayangnya, di sini sebagian orang justru menggunakan agama untuk semakin meneguhkan perbedaan. Agama dimanfaatkan untuk melegitimasi kebencian dan permusuhan. Entah karena kepicikan atau faktor lain kita sukar menerka. Hanya saja, kesan yang timbul: mereka seolah sedang menginginkan sebuah negara dengan hanya satu agama.
Nahasnya, dalam setiap gesekan antar agama selalu terdengar nada sumbang yang mengagungkan teori konspirasi. Sah saja tiap orang berpendapat. Hanya saja jika selesai dengan “konspirasi” maka akan mampet. Kita jadi malas berpikir. Pokonya semua salah pemerintah. Pola pikir seperti itu jika dilestarikan juga bisa menghilangkan empati terhadap korban, lantas absen melakukan kritik ke dalam. Seolah dalam Islam tak ada “orang-orang jahat” yang menodai keluhuran agama dengan kekerasan. Dan “kebebalan” semacam itu terus terulang. Narasinya sama: mencaci maki pemerintah karena dianggap menyudutkan dan memusuhi Islam.
Dari hari ke hari, keberagamaan di negara ini rasanya makin terdegradasi. Di tengahrasa putus asa mungkin kita bertanya: lalu kita harus bagaimana? Kejernihan berpikir adalah sebaik-baik bekal. Lebih-lebih saat mengarungi tahun-tahun sarat intoleransi. Yang riak-riaknya sudah mulai tampak.
Kewarasan kita betul-betul dipertaruhkan di zaman edan.