“Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer
“mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbul wathon
minl îmân)” (Gus Dur, Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 28)
Perkataan hubbul wathon minal îmân, bersumber dari hikmah yang beredar di kalangan sebagian ulama. Di antaranya, disebutkan oleh al-Hafizh as-Sakhowi dalam kitab al-Maqôsidul Hasanah (pada No. 386). Disebutkan di situ bahwa perkataan ini bukan hadits Nabi, dengan kata “lam aqif alaihi.” Akan tetapi perkataan itu, makna substansinya adalah shohih seperti disebutkan oleh Imam ad-Dainuri “fi Tsâlitsil Mujâlasah”-nya, melalui jalan Imam al-Ashma`i.
Setelah as-Sakhowi mengutip perkataan dari orang A’rob dan orang al-Hind, lalu dikutip contoh yang diberikan Kanjeng Nabi Muhammad: “Tatkala Nabi rindu kepada Makkah, tempat kelahiran dan kehidupannya, lalu Alloh menurunkan ayat surat al-Qashash ayat 65: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”
Satu ayat Al-Qur’an yang disebut as-Sakhowi dalam mengutip al-Ashma’i di atas, adalah surat al-Qashash ayat 65 di atas. Dan, salah satu sebab turunya ayat ini disebutkan bersumber dari Ibnu Abi Hatim dari adh-Dhahak, bahwa Nabi Muhamamd shollallohu `alaihi wasallam hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan sesampainya di Juhfah, beliau sangat mengharapkan bisa kembali ke kota Mekkah. Ayat ini turun sebagai janji Alloh kepadanya untuk mengembalikan ke Mekkah. Riwayat ini disebutkan di antaranya dalam tafsir Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Durrul Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr (XI: 521).
Kata “ilâ ma`âd” pada ayat itu, di samping ada yang menafsirkan hari qiyamah dan al-jannah, Imam as-Suyuthi juga menyebutkan ada yang meriwayatkan sebagai bermakan “ke kota Mekkah”. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abi Syaibah, `Abdu bin Humaid, al-Bukhori, an-Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnul Mundzir, Ibnu Marduyah, al-Baihaqi dalam ad-Dalâ’il, dari jalan Ibnu Abbas, tentang makna “larôdduka ila ma`âd”, qola: “Ilâ Makkata” (XI: 522). Ini bermakna bahwa Nabi pun diperkenankan mencintai kotanya, tempat kelahiran dan tempat beliau hidup.
Makna dari hikmah di atas, bagi seorang muslim, yang mana dia memiliki tempat tinggal di sebuah daerah, yang aman, untuk berkeyakinan, bertempat tinggal melaksanakan ibadah, di mana masjid dan musholla didirikan, maka rindu dengan tempat tinggal yang seperti ini adalah bagian dari implementasi dari keimanan. Sebab dengan demikian, ia rindu untuk bisa beri’tikaf di masjidnya, rindu untuk bisa berjama’ah di masjid-musholanya, rindu untuk bsia melantunkan sholawat di rumah-rumah dan majlisnya, rindu untuk bisa menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya, rindu bertemu saudara-sadaranya yang itu bagian silaturahim, dan banyak lagi, maka itu menjadi dasar yang riil betapa mencintai daerah dan negara di mana dia tinggal adalah bagian dari implementasi keimanannya.
Baca juga: Cara Terbaik Mengenang Gus Dur
Di Indonesia, kata-kata hikmah di atas kemudian dipopulerkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah melalui gubahan syair “Ya Lal wathon…”, yang diperkenalkan kembali kepada masyarakat, dan dinyayikan dalam acara-acara nasional, oleh kalangan muda, termasuk juga di dilingkungan NU. Syair “Ya Lal wathon…” adalah syair perjuangan untuk membela tanah air. Karena itu pula, bangsa Indonesia sangat berhutang budi kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah yang menggubah syair ini, sehingga di tengah penggerusan rasa kebangsaan oleh kelompok Islam yang mengharamkan nasionalisme dan kekejaman globalisasi neoliberalisme yang memperdangkal keberpihakan bagi kepentingan nasional, menjadi sangatlah penting artinya.
Gus Dur, mengemukakan kalimat hikmah di atas dalam konteks memberikan contoh betapa ada banyak teks ayat atau hadits Nabi yang menunjukkan perintah, itu ternyata, masih menimbulkan pertanyaan dari sudut: apakah kewajiban itu bersifat kolektif atau bersifat individual, atau bersifat universal atau partikular, sehingga memerlukan pendekatan menggabungkan antara nash dan aqal.
Gus Dur mengatakan:
“Jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik berupa ayat-ayat kitab suci Al-Quran maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan.”
Dalam konteks mencintai tanah air, banyak kaum muslimin di Indonesia mendefinisikan, adanya kewajiban mencintai tanah air ini. Hanya saja Gus Dur menyebutkan memang: “Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersamaan.”
Dari sudut mencintai tanah air Indonesia, implementasinya di antaranya adalah penerimaannya. Untuk ini diberi argumentasi yang sering dikemukakan Gus Dur, di banyak tulisan dan tempat, melalui jalan aqal-perenungan; dan beberapa teks ayat yang dapat diambil intisarinya, demikian:
Kita hidup di Indonesia ini, sudah yaqin bisa memegang dan berkeyakinan monotheis menurut keyakinan Islam dan tidak dihalang-halangi, dan kita juga bisa mendirikan masjid dan menjalankan ibadah untuk memenuhi rukun Islam dan rukun iman. Maka menurut dasar ini, al-yaqîn lâ yuzâlu bisy syâkk. Penggantian dengan sistem lain, bisa menimbulkan penggantian model negara yang belum tentu di mana tauhid bisa dijalankan bila negara baru itu berdiri; belum lagi akan adanya penumpasan oleh kekuatan angkatan bersenjata dan perang saudara. Karenanya, hasilnya untuk alternatif demikian masih meragukan. Maka yang meragukan perlu ditinggalkan, karena ada keyakinan yang sudah tetap nyata kita bisa beribadah dan memegangi tauhid tanpa dihalangi-halangi.
Negara Indonesia ini didirikan dengan sebuah musyawarah mufakat, dan kaum muslimin terlibat dalam musyawarah itu. Maka menjaga hasil kepesakatan dari musyawarah mufakat itu, merupakan bagi dari perintah agama Islam.
Hidup di negara damai seperti Indonesia, dan mempertahankan perdamaian adalah lebih banyak mashlahatnya daripada mengadakan upaya kekerasan dan upaya-upaya untuk menggantinya dengan kekerasan ataupun provokasi, dengan tetap berusaha memperbaiki keadaan-keadaan yang belum baik.
Di samping itu, memang tidak ada nash yang sharih yang menjelas kan satu bentuk sistem pemerintrahan bagi umat Islam, dan secara faktual, umat Islam telah melewati masa-masa di mana sistem mereka berjalan dengan berbeda-beda. Hanya saja, yang ditekankan Islam adalah adanya implementasi prinsip-prinsipnya, seperti terwujudnya keadilan, diterimanya jalan musyawarah, amanah bagi pejabat, diberikannya jalan koreksi bagi masyarakat; jaminan persamaan dan kedaulatan hukum, dan hal-hal yang mendukung ke arah kemashlahatan dan perbaikan.
Dan karenanya, Gus Dur juga menjalani hidupnya, melalui gerakan, pemikiran dan perjuangnnya, untuk mencintai tanah air, agar menjadi terus menerus baik dan hidup dinamis, tanpa mematikan inisiatif-inisiatif ke arah perbaikan terus menerus. Hal ini menghendaki kaum muslimin bersikap dinamis ke dalam, dan pada saat yang sama juga harus siap mengambil hal-hal baru yang lebih baik dari luar; dan menciptakan kreatifitas-kreatifitas, atau bidah hasanah.
Baca juga: Soeharto Naik Haji, Gus Dur Berani Sekali Menjadikannya Humor
Karena perjuangan mencintai tanah air seperti ini, adalah perjuangan semesta melibatkan semua aspek, maka hal itu juga berhubungan dengan aspek gerakan pemikiraan masyarakat, gerakan membenahi angkatan bersenjata, gerakan perbaikan birokrasi Negara dan taraf hidup, dan melakukan tindakan-tindakan nyata untuk kepentingan masyarakat dan nasional. Bagi Gus Dur, dalam hal itu negara harus memberikan ruang perbedaan, tetapi juga harus dicegah sebisa mungkin agar tidak sampai tercipta anarkhi dan kekerasan yang merusakkan semua hal; juga memberi ruang hidupnya tradisi-tradisi masyarakat, tetapi juga memberi jalan kepada perbaikan bagi dinamisasi ke depan.
Hubbul wathon, dengan demikian memerlukan para pecinta, yang rela berjuang dan memberikan kepada yang dicintai. Bagi Gus Dur, perjuangan semacam mencintai tanah air melalui jalan semesta itu, memperbaiki kualitas hidup dan berikhtiar untuk kemaslahatan, pada dasarnya bagian dari mengimplementasikan perintah-perintah dari Al-Qur’an dan hadits, juga petuah-petuah para guru.
Dan karenanya, kerja-kerja demikian pada dasarnya, atau hakekatnya adalah juga “Mencintai Alloh”, melalui upaya mencintai Negara-bangsa dan para makhluknya, agar senantiasa menjadi lebih baik; atau mempertahankan yang sudah baik, dari perusakan sekelompok orang. Karena Alloh itu disifati Maha Hidup, maka terus menerus dinamis memperbaiki keadaan hidup bangsa Indonesia dan mencintainya, dimana Indonesia adalah salah satu bumi milik Alloh; dan tempat kaum muslimin beribadah di dalamnya, maka dengan sendirinya kerja-kerja mempertahankan dan memperbaiki Indonesia semacam itu juga menjadi tanda bagi upaya-upaya menyambungkan diri dengan yang Maha Hidup. Wallohu a’lam.