Jika Anwar Ibrahim, mantan perdana menteri Malaysia telah mempopulerkan istilah masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris civil society, sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya, maka jauh sebelumnya Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa abad 19, telah mengenalkan konsep masyarakat windu kencana. Secara harfiah windu kencana berarti masa keemasan.
Ki Ageng menjelaskan bahwa dalam masyarakat windu kencana itu, “Sedaya lelawanan tentrem. Tiyang sade namung lugu pados cekaping kabutuhanipun ingkang tumbas, tiyang tumbas nyekapi butuhipun ingkang sade. Guru namung pados wasising murid amrih madeg pribadi kawruhipun. Murid tumemen sinau. Ing jaman windu kencana, tiyang sami sumerep gegayuhan ingkang leres.”
(Hubungan sosial berlangsung dalam ketenteraman. Penjual berusaha memenuhi kebutuhan pembelinya, dan pembeli berusaha mencukupi kebutuhan si penjual. Guru hanya berusaha membimbing supaya muridnya dapat berpikir mandiri. Murid serius di dalam belajar. Di era windu kencana, orang paham tujuan hidup yang sebenarnya.)
“Wonten ing jaman windu kencana, sasampuning tuwuk wetengipun lan wetah sandhangipun, tiyang sami seneng-seneng sesarengan. Barang ingkang dipun senengi inggih punika wujudipun: kagunan, kawruh, lan kasagedan. Princening kagunan lajeng dados kasusastran, gendhing, joged lan sanes-sanesipun ingkang mranani raos endah. Princening kawruh lajeng dados kawruh pikiran, barang adon-adonan lan sanes-sanesipun ingkang mranani raos wasis. Princening kasagedan dados dedamelan warni-warni ingkang mranani raos gumun.”
(Di era windu kencana, setelah orang cukup sandang pangan maka orang pun lantas berbahagia bersama-sama. Sesuatu yang membuat kebahagiaan bersama adalah: segala yang bermanfaat, pengetahuan, dan keahlian. Segala yang bermanfaat tertuang dalam bentuk kesusasteraan, seni musik, seni tari, dan lain sebagainya yang melahirkan rasa indah. Pengetahuan berkembang menjadi filsafat, sains atau ilmu-ilmu terapan, dan lain sebagainya. Keahlian melahirkan berbagai inovasi dalam segala bidang yang menengangkan karena tak terbayangkan sebelumnya.)
“Ing jaman windu kencana tindaking tiyang, sarwa begja sesarengan; tiyang sami saged angrewes dhateng kabutuhaning tiyang sadaya sawetah; mila makaten, jalaran kabutuhanipun piyambak-piyambak cekap; cekapipun amrih sirnaning ungkul. Ingkang makaten wau dipun wawas mawi paningal ungkul katingal nglengkara, utawi impen, sae-saenipun dipun wastani gegayuhan ingkang boten saged kalampahan. Ungkul anggenipun mawas makaten punika leres. Dene yektosipun jaman windu kencana punika wohing raos begja sesarengan. Kados dene jaman windu ungkul, wohing ungkul-ungkulan sesarengan. Dados sarwo begja sesarengan punika wohing sarwa cekap lan seneng-seneng sesarengan.”
(Di era windu kencana, orang akan senantiasa merasakan ketenteraman bersama. Orang-orang saling bahu membahu karena saling peduli dengan kebutuhan sesamanya. Yang demikian itu terjadi karena masing-masing orang telah merasa cukup; merasa cukup karena tak terbersit niatan untuk melebihi sesamanya. Namun keadaan yang semacam itu jika dipandang dengan kaca mata persaingan alias kompetisi untuk saling mengungguli akan tampak sebagai sesuatu yang utopis, hanya mimpi, dan takkan mungkin dapat terlaksana.
Wajar, jika kaca mata kompetisi menampakkan pemandangan yang demikian. Namun sesungguhnya era windu kencana adalah sebuah keniscayaan karena ia merupakan buah dari rasa tenteram bersama. Sebagaimana era persaingan yang timbul dengan sendirinya karena setiap orang berlomba-lomba untuk memenangkan dirinya sendiri dan mengalahkan orang lain. Jadi, ketenteraman bersama sesungguhnya hanyalah merupakan buah dari masing-masing orang yang merasa cukup dan memiliki kepedulian terhadap sesamanya.)
“Ing jaman windu kencana tiyang boten mardika ngungkuli liyan; kados dene anggenipun boten mardika ngethok tanganipun piyambak, tamtu kapagol ajrih sakit. Ngungkuli tiyang kapagol rewes mardika; awit raos tentrem ngluwari rewes saking bebandan piyeng-piyeng; wasana tansah saged ngrewes raosing tiyang sawetah.”
(Di era windu kencana, orang tak lagi memiliki keleluasaan untuk mengalahkan orang lain, sebagaimana ia tak memiliki kebebasan untuk memotong tangannya sendiri; karena pasti akan terbentur keengganan untuk menyakiti diri sendiri. Demikian juga saat bermaksud mengalahkan orang lain, ia akan berkonflik dengan hati nuraninya karena orang lain pun memiliki kebebasan sebagaimana dirinya—rasa tenteramnya akan terusik ketika ia sampai membuat orang lain tidak tenteram—apalagi untuk menghilangkan kemelekatan terhadap sesuatu yang artifisial bukanlah hal yang mudah. Dengan begitu, maka setiap orang akan dapat saling menenggang terhadap perasaan sesamanya secara menyeluruh.)
Mewujudkan Masyarakat Windu Kencana
Era windu kencana dengan sendirinya akan lahir ketika setiap orang dapat meredam dorongan untuk saling mengungguli orang lain. Ya, kecenderungan setiap orang untuk berkompetisi menurut Ki Ageng, berawal dari pengamatan seseorang atas prilaku orang per orang yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Dari situ orang lantas menyimpulkan bahwa bahagia atau celakanya seseorang sangat bergantung dengan keadaan yang melingkupinya.
Misalnya, orang kaya dianggap lebih bahagia ketimbang orang miskin; sehingga dalam keyakinannya menjadi orang kaya tentu lebih banyak sukanya ketimbang menjadi orang miskin. Keyakinan seseorang yang semacam itulah yang kemudian melahirkan sikap kompetitif alias keinginan untuk saling mengungguli.
Rasa yang timbul dari sikap kompetitif adalah kemrungsung, yaitu gelisah berkepanjangan yang disertai keinginan kuat untuk mendapatkan kekayaan (semat), kedudukan (drajat), dan kewibawaan ataupun kemuliaan (kramat).
“Ayo, cari uang sebanyak mungkin seperti si A, jangan sampai miskin seperti si B, supaya dapat merendahkan si C dan tak diremehkan oleh si D. Ayo, cari kedudukan yang tinggi seperti si E, supaya dapat mengungguli si F dan tak diungguli oleh si G. Ayo, cari kewibawaan juga kemuliaan seperti si H, supaya dapat mengalahkan si I dan tak dikalahkan oleh si J. Ayo, terus semangat, jika tak bisa mendapatkan semuanya itu untuk apa kita hidup, mendingan mati saja!” Demikian jika kemrungsung yang timbul dari rasa yang melahirkan sikap kompetitif itu ketika diverbalkan menurut Ki Ageng.
Sikap kompetitif yang telah merasuk dalam diri seseorang akan melahirkan keyakinan bahwa jika sampai obsesinya tak tercapai akan celaka dan menanggung malu (wirang) seumur hidupnya. Rasa kemrungsung yang terlahir dari sikap kompetitif tersebut, jika tak dapat disadari akan menjadikan orang kehilangan gairah hidup (semplah).
Jika sudah demikian, maka orang yang bersikap kompetitif pun berpikirnya lantas menjadi kacau dan gelap pandangan. Segala sesuatu dilihat secara terbalik-balik dan tentu saja kian menjauh dari kebenaran. Kian mustahil untuk bisa sampai pada kesejatian alias sesuatu yang hakiki.
Contohnya adalah orang yang ingin memiliki mobil, dimana dalam anggapannya ketika keinginannya dapat terlaksana ia akan mengungguli si A, dan tidak kalah unggul dari si B. Setiap kali berpapasan dengan orang yang mengendarai mobil, jantungnya selalu berdebar-debar. Apalagi jika pengendaranya adalah tetangga yang ia benci dan telah ia anggap remeh, maka ia pun akan panas hatinya, ngedumel, dan bersikap kian sinis saja. Begitulah pandangan yang terbalik-balik karena sikap kompetitif.
Masa, bertemu pengendara mobil saja hatinya terasa panas? Apakah pengendara mobil memang menyebabkan hati terasa panas? Tentu tidak bukan? Tetapi bagi orang yang bersikap kompetitif akan selalu seperti itu.
Sikap kompetitif adalah pemicu dari berbagai tindakan orang yang memaksakan diri (ngaya-aya). Jika seseorang hendak melakukan sesuatu, namun ia khawatir kalau orang lain dapat melebihinya, hal itu akan membuatnya resah hingga tak bisa tidur pulas. Ki Ageng menontohkan orang yang hendak menikahkan anaknya, dimana pikirannya terus berkecamuk: “Sewaktu anak si A menikah dulu resepsinya di gedung megah, dekorasinya mewah, dan suguhannya melimpah. Aku tidak boleh kalah!”
Pemaksaan diri yang semacam itu kemudian melahirkan gugon-tuhon. Gugon-tuhon adalah menghubungkan relasi hukum sebab akibat secara tidak nyambung, hingga melahirkan tindakan yang aneh-aneh. Sikap kompetitif yang menyebar luas dalam kehidupan (pagesangan) akan memengaruhi upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangupajiwa) bersama dan pergaulan sosial (sesrawungan).
Terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup, ia berjalin kelindan dengan keinginan untuk melebihi orang lain dalam hal mendapatkan semat (harta benda), drajat (kedudukan), dan kramat (pengaruh/wibawa/kemuliaan), dan dalam sesrawungan ia berhubungan erat dengan melebihi orang lain dalam mendapatkan perhatian dan citra sebagai orang yang dianggap baik.
Sikap kompetitif yang berkembang dalam urusan untuk memenuhi kebutuhan hidup akan mendorong orang untuk menjadi yang terkaya, yang paling mulia, yang paling berkuasa, dan jangan sampai ada seorang pun yang dapat melebihinya. Dalam pergaulan sosial sikap kompetitif mendorong orang untuk menjadi yang paling dicintai, yang paling dikasihi, dan jangan sampai ada yang memiliki citra baik melampaui dirinya.
Dalam hal menjaga citra itu, seringkali orang betindak seakan-akan alergi terhadap kemegahan dunia. Yang demikian itu terjadi karena dalam era kompetisi, orang yang terkesan benci terhadap dunia acap dianggap sebagai waliyullah atau orang yang memiliki kelebihan (linangkung). Demikian penjelasan singkat dari Ki Ageng Suryomentaram tentang konsep masyarakat madani yang disebutnya sebagai era windu kenana. Semoga bermanfaat. Amin.