Konsep Kebesaran Allah

Konsep Kebesaran Allah

Konsep Kebesaran Allah

Ada sebuah hadits Qudsi yang sangat menarik. Ia tertulis dalam kitab “Sahih Muslim” (2577). Imam Nawawi (Abu Zakariya al-Nawawi) menuliskannya dalam kitab “Arba’in”, pasal 24. Terjemahan lepasnya kira-kira begini :

Andaikata semua manusia (dan jin) di seluruh bumi ini sejak ia ada dahulu kala hingga kehidupan dunia berakhir sepakat dan bersama-sama bertaqwa dan memuji Tuhan, maka itu tidak membuat Kekuasaan-Nya menjadi lebih besar. Dia tetaplah Dia Yang Maha Besar, Maha Terpuji, dan Maha Sempurna.

Andaikata seluruh manusia (dan jin) yang ada di muka bumi ini, sejak zaman ia ada dahulu kala hingga nanti, saat kehidupan dunia ini berakhir, sepakat dan bersama-sama mendurhakai atau menentang Tuhan, tidaklah hal itu akan mengurangi Kekuasaan, Kemuliaan dan Keagungan-Nya sedikitpun. Dia tetaplah Dia Yang Maha Agung, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa. Dia Tak berkurang dan tak rugi sedikitpun.

Allah mengatakan :

يا عبادي إنكم لن تبلغوا ضري فتضروني ، ولن تبلغوا نفعي فتنفعوني

“Hamba-hamba-Ku, kalian tidak akan pernah bisa menyakiti/merugikan Aku sehingga membuat Aku jadi sakit/rugi. Kalian juga tidak akan pernah bisa menguntungkan/menyenangkan Aku sehingga Aku menjadi untung/senang”.

Para sufi mengatakan :

كان الله ولا شيء معه وهو الآن على ما عليه كان

“Allah Ada dan tidak ada apapun bersama-Nya. Dia sekarang sebagaimana Dia dahulu kala”

Allah mengatakan (dalam hadits Qudsi itu) bahwa segala tindakan dan ucapan manusia sejatinya untuk mereka sendiri. Yakni kembali kepada mereka sendiri. Jika mereka berbuat baik, maka mereka akan memeroleh hasilnya yang baik. Dan jika mereka berbuat buruk/jahat, maka mereka niscaya akan menerima akibat yang buruk.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhan-mu menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Fusshilat, 47)

Ibnu Athaillah al-Sakandari, dalam buku masterpiece nya : “Al-Hikam” mengatakan :

لا تنفعه طاعتك ولا تضره معصيتك وانما امرك بهذه ونهاك عن هذه لما يعود عليك

“Kesetiaanmu kepada Tuhan tak memberi-Nya keuntungan apapun. Dan kedurhakaanmu kepada-Nya tak merugikan-Nya. Dia memintamu melakukan ini atau melarangmu mengerjakan ini, adalah demi kepentinganmu belaka”.

Oleh karena itu bagi yang memeroleh kebaikan, hendaklah berterima kasih kepada Allah. Dan bagi yang memeroleh akibat buruk, maka sesalilah diri sendiri, dan tidak menyalahkan yang lain.

Penjelasan di atas memicu gelisah dan mengganggu pikiran sejumlah teman. “Nah, jika begitu, apakah Tuhan perlu dibela? Jika Dia harus dibela, maka apakah yang harus dibela? Atau siapakah sesungguhnya yang harus dibela?” Begitu kata mereka.