Pesan yang paling sering disampaikan oleh para motivator adalah agar seseorang menjadi dirinya sendiri. Jadilah diri sendiri! Be yourself! Misalnya, dengan perkataan ‘tetaplah menjadi diri sendiri apa pun yang akan terjadi’ dan lain sebagainya. Tentu akan ada saja yang memaki, namun yang memuji pun pasti juga ada. Lagian, apa urusan anda dengan orang lain?
Ini adalah hidup anda dan hanya anda sendiri yang menjalaninya. Anda sedih, hanya anda yang merasakannya. Begitupun jika bahagia, tak ada yang merasakannya kecuali anda sendiri. Mengapa anda harus menyusahkan diri untuk menjadi orang lain?
Pertanyaannya kemudian, jika seseorang mengikuti apa-apa yang telah dikatakan oleh para motivator itu, dapatkah ia disebut telah menjadi dirinya sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja beragam. Dan masing-masing orang yang menjawab juga akan merasa bahwa telah menjadi dirinya sendiri.
Nah, terkait dengan menjadi diri sendiri secara apa adanya tersebut, Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa abad 19, mewariskan wejangan yang cukup mencengangkan.
Orang yang merasa berbeda tidak mungkin bisa apa adanya
Bagaimanapun juga, setiap orang memang akan senantiasa memiliki subjektivitasnya masing-masing. Menurut Ki Ageng, subjektivitas ini melekat dalam diri manusia semenjak ia merasa memiliki segala sesuatu seperti ibuku, bapakku, mainanku, dan lain sebagainya. Karena rasa subjektif itu telah sedemikian melekatnya dalam diri setiap orang, sampai-sampai orang tidak sempat menyadari bahwa subjektivitas itu seringkali bertolakbelakang dengan kenyataan objektif yang ada.
Agar tidak berpanjang-panjang dan terasa orisinalitasnya, saya kutipkan saja wejangan Ki Ageng dalam bahasa aslinya sebagaimana berikut.
Raos ingkang perlu dipun sumerepi punika raosipun piyambak, jalaran sanajan tiyang ngertos dhateng barang-barang, nanging boten ngertos dhateng raosipun piyambak, murugaken sulaya kaliyan awakipun piyambak inggih punika perang batin. Tiyang punika ajrih sumerep dhateng awakipun piyambak, mila dipun tutup-tutupi supados boten kados awakipun piyambak, yen awakipun piyambak sampun boten kados awakipun piyambak, raosipun puas. Dados tiyang punika boten puas yen namung kados awakipun piyambak.
(Rasa yang terpenting untuk diketahui adalah rasa yang ada di dalam diri sendiri. Karena meskipun kita mengetahui banyak hal, namun tidak memahami rasa yang ada di dalam diri, kita akan berselisih dengan diri sendiri, yang berupa timbulnya konflik batin. Ya, karena pada dasarnya, secara naluriah manusia itu takut untuk menyaksikan dirinya sendiri secara apa adanya. Karena itulah maka ia menciptakan selubung untuk membungkus diri agar tidak terlihat sebagaimana adanya. Jika diri seseorang sudah tidak lagi terlihat sebagaimana adanya, maka ia pun merasa puas. Jadi manusia itu justru tidak puas ketika menyaksikan dirinya sendiri sebagaimana adanya).
Mangga kanca-kanca kula ajak naliti awakipun piyambak ingkang ajrih dhateng awakipun piyambak. Saderengipun kula terangaken dalil: “Tiyang punika ajrih sumerep awakipun piyambak, punika sedaya tiyang sami.” Nanging tiyang ajrih sumerep dhateng kanyatan yen awakipun piyambak punika sami kaliyan saben tiyang. Mila pados tutup kangge nutupi supados beda kaliyan tiyang sanes, lajeng ngaya-aya pados semat, drajat, kramat, kangge tutup.
(Mari kawan-kawan saya ajak meneliti diri kita yang ketakutan terhadap diri sendiri. Terlebih dahulu saya berikan dalil, “Pada dasarnya setiap orang tak memiliki keberanian untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana adanya, dan semua orang memang seperti itu.” Namun, kesaksian terhadap fakta bahwa semua orang itu sesungguhnya sama saja telah menjadi momok yang menakutkan. Karena itu orang lantas mencari selubung agar dirinya tampak berbeda dari orang lain. Sebagai akibatnya, orang pun lantas berupaya keras agar mendapatkan harta benda, kedudukan atau martabat, dan wibawa atau kemuliaan untuk dijadikannya sebagai penutup diri).
Artinya, setiap orang sesungguhnya bisa menjadi dirinya sendiri. Namun karena orang pada umumnya tidak mau menerima bahwa kenyataan dirinya itu sesungguhnya sangat buruk, maka orang pun lantas berusaha menutupi dirinya dengan subjektivitas yang dianggapnya baik. Dan, dengan menutupi dirinya menggunakan sesuatu yang dianggapnya baik tersebut, orang lantas merasa bahwa dirinya telah menjadi orang baik.
Maka tidaklah mengherankan jika segala sesuatu yang secara fitrahnya baik, pun lantas menjadi tidak baik karena hanya digunakan sebagai penutup diri yang sesungguhnya tidak baik. Contoh yang paling terang benderang di negeri ini, semua agama pada dasarnya adalah baik. Namun ketika norma-norma agama hanya dipakai untuk menutupi keburukan diri para pemeluknya, ya kenyataannya seperti yang kita lihat sehari-hari di sekitar kita.
Insan Kamil
Lalu, solusi yang ditawarkan Ki Ageng adalah menjadi manusia sempurna. Namun ini sama sekali bukan konsep kesempurnaan ala insan kamil-nya Ibn Arabi yang arkaik dan diaminkan oleh para sufi lainnya. Ya, menurut Ibn Arabi, insan kamil adalah manusia sempurna dalam segi wujud dan pengetahuannya. Yaitu bahwa manusia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh, dan berpengetahuan karena telah mencapai kesadaran tertinggi akan kesatuan esensinya dengan Tuhan. Juga bukan Ubermensch ala Friedrich Nietzsche yang memutlakkan kehendak bebas dalam diri manusia sehingga membuat Tuhan “terbunuh”.
Konsep manusia sempurna Ki ageng Suryomentaram adalah sesuatu yang sangat sederhana, walaupun jika dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, ia juga tak berbeda dengan insan kamil para sufi bahkan ubermensch Nietzche sekaligus. Yaitu, manusia sempurna adalah manusia yang tak lagi butuh kesempurnaan karena telah mampu memberdayakan pelbagai kekurangan yang ada di dalam dirinya.
Dalam bahasa Ki Ageng, “Pramila tiyang nalika rumaos klentu, bingung, jampinipun namung sabda makaten: Ora ana jing bakal ngukum menyang kowe, janji kok pindo, kon ping telu slamet!” (Karena itu jika manusia merasa telah melakukan kesalahan, lantas kebingungan, maka solusinya adalah sabdanya sendiri, “Tak aka nada yang bisa menghukummu, begitu kesalahanmu engkau ulangi sekali lagi, maka ulangilah untuk ketiga kalinya dan engkau pun selamat!”).
Ya, manusia sempurna bukanlah manusia yang tanpa kesalahan. Namun saat terlanjur melakukan kesalahan di bumi, ia tidak perlu menunggu “pengadilan Tuhan” di akhirat tapi langsung memperbaikinya seketika. Jika ikhtiar yang sudah diupayakan dengan maksimal itu belum juga membuahkan hasil, maka upayanya yang terakhir—apa pun capaiannya—telah menyelamatkan keberadaannya sebagai khalifah Tuhan di bumi. Wallaahu a’lam bishshawwab. []
Muhaji Fikriono, Penulis Buku Puncak Makrifat Jawa dan Hikam untuk Semua. Bisa ditemui di @hikam_athai