Judul di atas merupakan idiom dari bahasa Arab yang bermakna mengharapkan berkah. Orang Jawa menyebutnya ngalap berkah. Sedangkan idiom berkah itu sendiri berarti ziyadah al-khyr, yakni bertambahnya nilai kebaikan pada diri seseorang, profesi, pekerjaan yang sedang ditekuni atau apapun yang berkaitan dengan kehidupannya.
Mengharapkan berkah itu tentu saja hanya kepada Allah SWT semata. Karena hanya Dialah yang memiliki sekaligus sumber dari segala kebaikan yang ada di dunia ini dan di akhirat nanti. Akan tetapi sebagaimana rejeki yang tidak jatuh di hadapan kita langsung dari Allah SWT, namun dianugrahkan oleh hadiratNya kepada kita lewat sejumlah relasi, maka demikian pula berkah itu diberikan kepada kita lewat perantara orang-orang terkasihNya dari kalangan para nabi, wali atau mukmin hakiki.
Mereka yang merupakan kekasih-kekasih Allah SWT tentu saja memiliki hubungan yang unik, spesifik dan kuat dengan hadiratNya. Sehingga lewat adanya keterhubungan yang transendental dan istimewa itu mereka “tertulari” oleh berbagai perbuatan, sifat dan perangai Allah SWT. Bahkan nama-nama Allah SWT dalam al-Asma’ al-Husna dengan perkenanNya diejawantahkan oleh mereka di dalam kehidupan ini lewat perilaku, akhlak dan keputusan-keputusan mereka.
Sungguh dalam konteks ini sangat rasional adanya sebuah jawaban terhadap suatu pertanyaan: kenapa sih kok orang-orang terpilih itu bisa tertulari berbagai kreativitas dan kemuliaan Allah SWT?
Sebagai suatu analogi, dalam kepustakaan dan wacana psikologi diungkapkan bahwa siapa pun yang tertarik dan jatuh cinta kepada seseorang akan senantiasa menginternalisasi sifat-sifat dan perilaku sang kekasih itu ke dalam dirinya sebagai bukti telah terkikis-habisnya demarkasi yang sebelumnya pernah memisahkan antara dia dengan orang yang dicintainya itu.
Hal yang demikian juga berlaku bagi siapa pun yang hatinya telah dan senantiasa bergemuruh dengan kehadiran Allah SWT. Nah, orang seperti inilah yang oleh hadiratNya diperkenankan menjadi duta bagi keberkahan-keberkahan yang kemudian “disosialisasikan” terhadap kehidupan umat.
Mendekat terhadap orang yang dimuliakan seperti itu sesungguhnya secara substansial sama saja dengan mendekat terhadap berbagai kemuliaan dan keberkahan-Nya. Dan siapa saja yang menghormati dan mempersembahkan takzim terhadap orang yang dimuliakan dengan sifat dan akhlak-Nya itu sebenarnya berarti juga memuliakan dan mengangkat darajatnya sendiri.
Alasannya saya kira sudah pasti bahwa dengan mendekat secara hakiki terhadap kemuliaan dan keberkahan yang bersemayam di dalam diri orang-orang yang telah tersucikan dari segala sesuatu yang selainNya siapa pun sebenarnya berarti telah dengan seksama mempersiapkan diri untuk menampung sebanyak mungkin kemuliaan dan keberkahan itu.
Saya pastikan bahwa mendekat itu mesti secara hakiki karena adanya dua alasan. Pertama, kalau hanya kedekatan fisikal semata yang terjadi, sedang secara spiritual tidak, maka dapat ditegaskan bahwa transformasi kemuliaan dan keberkahan itu tidak mungkin terjadi.
Betapa begitu dekatnya secara fisikal antara Abu Jahal dengan Rasulullah SAW, tapi adakah kemuliaan dan keberkahan beliau bisa singgah di jiwa orang yang begitu sengit memusuhi Islam itu? Tidak. Bahkan Abu Jahal itu tidak segan-segan menista dan menyakiti penutup dari sekian para nabi itu.
Kedua, mendekat secara spiritual itu tidak mesti kita lakukan terhadap orang-orang mulia dan penuh berkah yang sezaman dengan diri kita. Akan tetapi juga bisa kita lakukan terhadap orang-orang suci yang telah ratusan atau bahkan ribuan tahun lebih awal kehidupan mereka dibandingkan dengan zaman kehidupan kita ini.
Bagaimana caranya? Tak lain dengan menelusuri berbagai situs dan jejak-jejak spiritualitas mereka. Bukan terutama dalam konteks investigasi keilmuan sebagaima yang seringkali dilakukan oleh kaum intekektual dalam rangka menghimpun data-data untuk keperluan menyusun tesis, disertasi atau karya-karya ilmiah yang mereka tekuni, akan tetapi dengan penuh permenungan dan berusaha dengan sungguh-sungguh secara ruhani untuk merasakan kelezatan spiritual yang telah mereka lahap dan tenggak sebagai hidangan paling murni dari Tuhan semesta alam.
Dengan adanya pemahaman ini bisa ditandaskan bahwa betapa urgen sesungguhnya adanya wisata spiritual terhadap kuburan-kuburan para wali. Bukan untuk mengkultuskan mereka, bukan pula untuk meminta apapun kepada mereka. Sebab, selain Allah SWT tidak ada siapa pun yang bisa memberikan manfaat dan mudarat kepada kita.
Ziarah wali songo dan wali-wali yang lain sungguh sangatlah penting. Di samping untuk mempersiapkan diri menyongsong kamatian sebagaimana mereka yang telah terlebih dahulu menghadap hadiratNya dengan rida dan diridai, juga untuk “kulakan” kearifan, religiusitas, gerakan-gerakan artistik di bidang dakwah, akhlak terpuji, kemuliaan dan keberkahan. Allahumma ij’alna minhum. []
Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.