Saya baru tahu lagu “Andaikan Kau Datang Kembali” sebetulnya bicara kematian. Lagu ini ditulis Tonny Koeswoyo dalam kondisi sakit berjuang melawan kanker usus. Kisah di balik penulisan lagu ini saya dengar pertama kali dari Kikan Namara, mantan vokalis Cokelat yang kini menjadi ketua Komunitas Musisi Mengaji (KOMUJI) Jakarta.
Lagu itu sebenarnya sudah lama saya dengar. Mulai dari versi Koes Plus, Ruth Sahanaya, sampai Noah. Cukup sering juga saya putar, terutama di malam hari. Tapi karena tidak tahu makna dan latar belakang penulisannya, saya anggap hanya lagu romantis biasa, yang tidak memberi kesan apa-apa, kecuali menambah kegalauan. Setelah dengar cerita tentang lagu ini, saya punya pengalaman baru ketika mendengarkannya, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Makanya, saya agak merinding ketika Teh Kikan melagukannya. Sebab mengingatkan kematian.
Dari situ saya mulai memahami, pandangan tentang lagu, atau musik secara umum, tergantung pada bagaimana imajinasi dan perspepsi seseorang tentang lagu tersebut. Bagi yang memahami lagu romantis, pasti rasa dan pengalamannya berbeda dengan orang yang memahami lagu kematian. Dalam salah satu teori Hermeneutika dikatakan, pemahaman seorang terhadap merupakan hasil dialektika antara horizon pengetahuan yang dimiliki pembaca dengan teks yang dibacanya. Artinya, pengalaman membaca dari waktu ke waktu bisa berubah, meskipun teksnya sama.
Begitu pula lagu, pengalaman mendengar dan menyanyikannya bisa berbeda dari tergantung pada situasi hati dan imajinasi. Orang yang menyanyikan dan mendengarkan lagu sedih, bisa bertambah sedih ketika yang diputar lagu sedih misalnya. Ini beda dengan orang yang sedang bahagia. Dia tidak akan sedih meskipun lagu sedih diputar ratusan kali. Karena suasana hati dan imajinasinya tidak sinkron dengan konteks dan konten lagu yang didengarnya.
Karenanya, saya tidak begitu setuju dengan orang yang mengharamkan musik. Bagi saya musik memiliki hikmah dan manfaat, asalkan ditulis dengan serius dan penuh renungan, dan disuguhkan dengan cara yang bijak. Bahkan musik bisa menjadi media dakwah. Sudah ada banyak contoh tentang hal ini. Misalnya, dalam situasi tertentu, orang bisa saja lebih ingat dan sadar kematian ketika mendengarkan lagu Andaikan Kau Datang Kembali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata yang dipopulerkan Chrisye, atau The Spirit Carries on Dream Theater, ketimbang mendengar ceramah pengajian. Saya tidak mengatakan dengarin musik lebih baik dari pengajian loh ya. Tolong jangan disalahpahami.
Menurut saya, hidayah dan kesadaran itu bisa datang dengan berbagai macam cara. Hidayah dan kesadaran itu tidak hanya ada di masjid, mimbar pengajian, atau cara formal lainnya. Memang ada cerita Umar bin Khattab yang dapat hidayah setelah mendengar saudarinya baca al-Qur’an. Tapi tidak semua orang punya pengalaman yang sama dengan Umar bin Khattab. Bisa jadi ada sebagian orang tidak mendapat hidayah dan sadar setelah baca al-Qur’an. Rasul mengistilahkan, baca al-Qur’an tidak sampai tenggorokan. Maksudnya, mulut tetap melafalkan al-Qur’an, tapi hatinya tidak tersentuh sama sekali. Akibatnya, laku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai agung yang terdapat dalam al-Qur’an.
Kesadaran akan Tuhan juga bisa diperoleh setelah menikmati karya seni ataupun musik. Oludamini Ogunnaike dalam artikelnya The Silent Theology of Islamic Art menunjukkan bahwa karya seni dan pertunjukan musik Islam tradisional memiliki pesan-pesan teologis, ketuhanan, dan nilai spritual yang mendalam. Ogunnaike menegaskan, “kalau saya diminta untuk menjelaskan Islam kepada orang yang tidak begitu familiar dengan agama, saya tidak akan menyuguhkan kepadanya terjemahan al-Qur’an, buku fikih ataupun akidah, tapi saya minta dia menyaksikan seni baca al-Qur’an, kaligrafi, pertunjukan musik, ataupun puisi”.
Maka dari itu, musisi yang tergabung dalam KOMUJI tetap setia berjuang di jalur musik. Mereka menjadikan musik sebagai cara untuk mengajak pada kebaikan.Kajian KOMUJI biasanya dibuka dengan musik dan diakhiri dengan musik pula. Tujuannya, agar orang yang mengikuti kajian tidak merasa bosan dan bisa mengikuti kajian dari awal sampai akhir.
Tempat kajian KOMUJI pun terbilang unik, diadakan di Kafe, bukan di masjid. Mengapa? Orang yang mengikuti pengajian di masjid biasanya adalah orang yang sudah sadar pentingnya pengetahuan keagamaan dan dari rumah mereka benar-benar niat belajar. Tapi, kalau kajian keagamaan selalu diadakan di masjid, bagaimana nasib orang yang jarang datang ke masjid? Siapa yang akan bimbing mereka? Jangan dibayangkan semua orang tahu cara masuk masjid, sebagian orang di luar sana, terutama yang sejak kecil tidak pernah mengenal Islam walaupun status agama KTP-nya Islam, tidak tahu cara masuk dan mengikuti kegiatan keagamaan di masjid.
Apa yang dilakukan KOMUJI ini sebuah ikhtiar untuk mengenalkan Islam kepada khalayak luas, terutama bagi mereka yang masih awam dalam masalah agama dan belum terlalu tertarik belajar agama.