Komit Lestarikan Sawah dan Tanah, Begini Kisah Seorang Juru Foto Lokal Membersamai Masyarakat Lereng Gunung Sumbing

Komit Lestarikan Sawah dan Tanah, Begini Kisah Seorang Juru Foto Lokal Membersamai Masyarakat Lereng Gunung Sumbing

Komit Lestarikan Sawah dan Tanah, Begini Kisah Seorang Juru Foto Lokal Membersamai Masyarakat Lereng Gunung Sumbing

Menjelang waktu Subuh hari, lelaki berusia mendekati 40 tahun itu terbangun dari tempat tidurnya. Menerabas udara dingin, berkisar antara 10-20 derajat celcius, dia mengeluarkan sepeda motor, memutar kunci ke posisi on, lalu membelah jalanan menanjak menuju lereng gunung Sumbing.

Penorama alam pada pagi hari menyambut terbitnya matahari: bentangan area persawahan yang ditanami beraneka sayuran, petala langit berwarna kemerahan, dan mentari naik sepenggalah diapit oleh gunung Merapi dan Merbabu, serta kegagahan gunung Sumbing sebagai latar belakang menghadirkan kemewahan tak terperi bagi dirinya yang telah menahun menekuni seni pemotretan. Tentu saja, pemandangan semacam ini tidak selalu ditemuinya. Terkadang, yang dijumpainya adalah kabut tebal yang menyelimuti langit dan matahari yang enggan menampakkan dirinya.

Sebagian gambar hasil jepretannya telah diunggah di media sosial terutama Facebook dan Instagram. Sebagian lainnya menghiasi surat-surat kabar nasional dan memenangi lomba pemotretan. Dari gambar-gambar itu, banyak orang dari luar daerah menghubunginya untuk menikmati panorama keindahan alam gunung Sumbing.

Mas Edi, nama fotografer itu, juga memiliki koleksi foto yang sengaja tidak akan dia publish. Dia menyimpannya untuk dinikmatinya seorang diri. Sebagai seorang seniman, yakni seni fotografi.

“Saya merasa memiliki simpanan deposit di dalam foto yang tidak saya publish itu, Mas” katanya.

Citra Nepal van Java dan Media Sosial

Penduduk di kawasan Nepal van Java hampir 99% beragama Islam. Meski berlokasi di kawasan pegunungan, sebagian orang menamainya negeri atas awan, bangunan masjid di dusun-dusun sekitarnya tidak kalah gagah dan mewah dibandingkan masjid di daerah lainnya di Indonesia. Islam telah berselaras dengan apik dengan roda kehidupan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Panggilan untuk mendirikan sembahnyang, misalnya, disesuaikan dengan jadwal harian kegiatan mereka di sawah. Maka jangan heran ketika Anda bertandang ke daerah ini, Anda akan mendengarkan adzan Zuhur berkumandang pada pukul 12.30 dan Asar berkumandang pada pukul setengah lima sore.

Nama Nepal van Java sempat menjadi viral di media sosial. Panorama alam, rumah-rumah penduduk yang nampak bertumpukan menyerupai kawasan pedesaan di bawah Himalaya, dan alam yang masih asri, menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini.

“Meski tidak pernah diakui, Mas, saya merasa menjadi bagian yang turut mempromosikan Nepal van Java di media sosial,” terang Mas Edi.

“Saya juga memiliki koleksi tentang Nepal dari sebelum viral sampai hari ini,” sambungnya.

Viralnya Nepal van Java tak pelak lagi mencuri perhatian para investor. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, dusun Nepal van Java mengalami perubahan yang signifikan. Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari batu kali kini telah menjadi berwarna-warni dengan harapan semakin menarik wisatawan untuk datang. Di mata Mas Edi, warna-warni yang mencolok itu justru mengurangi keunikan dari Nepal van Java sebagai destinasi wisata.

“Kalau Anda ke Nepal, hal pertama yang bakal Anda jumpai adalah warna-warni rumah penduduk yang dicat dari hasil kerjasama dengan perusahaan cat merk Nipp**”

Bahkan, di venue utama yang menjadi ikon Nepal van Java pun terpampang dengan terang logo perusahaan cat tersebut.

Suatu hari, terang Mas Edi, salah satu kawannya memotret seluruh logo Nipp** yang tertera di seluruh kampung tersebut. Dia lalu mengunggah di akun medsosnya dan membubuhinya dengan caption “Nippon van Java”!

Sontak, tindakan tersebut mengundang kontroversi. Para pejabat dusun dibuat geram olehnya. Namun, di sisi lain, hal ini juga menjadi catatan penting bagi mereka agar ke depan lebih berhati-hati dalam bernegosiasi dengan para investor yang datang dan menawarkan bantuan finansial.

Salah satu hal lain yang mulai hilang di kawasan wisata ini yaitu kehangatan sapaan dari masyarakat kepada para tamu. Beberapa sapaan tersebut antara lain,

“Monggo, Mas,” (silahkan, Mas)

“Nuwun sewu, Nggeh..” (permisi, ya..)

“Ngaturi pinarak, Mbak,” (silahkan mampir ke rumah saya, Mbak)

Menurut penuturan Mas Edi beberapa sapaan tersebut kini mulai jarang ditemui. Bukan karena penduduk enggan melakukannya, tetapi karena padatnya pengunjung, terutama di akhir pekan, sehingga memaksa masyarakat setempat untuk lebih memilih berdiam diri di rumah ketimbang melakukan aktivitas kesehariannya.

Warga Desa dan Investor

Para investor telah dan terus melirik Nepal van Java. Beberapa vila dan penginapan telah berdiri. Beberapa waktu lalu, Bank BR* menanam uang untuk mendirikan sebuah menara di dusun itu. Dalam waktu dekat, terdapat wacana untuk membangun jembatan kaca di area lokasi wisata tersebut.

Mas Edi, bersama aktivis dunia pariwisata lainnya di kabupaten Magelang, terus berupaya mengedukasi masyarakat untuk tetap mempertahankan lahan mereka. Iming-iming dalam bentuk uang milyaran, tentu saja, menjadi godaan dan cobaan terbesar dalam upaya edukasi tersebut.

“Alhamdulillah, Mas. Sejauh ini penduduk di dusun Butuh telah bermufakat untuk tidak menjual tanah mereka.”

Meski begitu, lanjutnya, terdapat beberapa petak tanah yang telah dibeli oleh investor. Kebetulan tanah tersebut bukan milik warga Butuh yang berada di kawasan Butuh. Jadi penduduk pun tidak dapat berbuat banyak.

“Jika sawah-sawah telah terbeli, Mas, itu akan menjadi ancaman bagi masa depan. Saya dan kawan-kawan mengajak seluruh warga desa untuk berpikir melompat ke depan, tidak untuk hari ini saja.” Terang Mas Edi.

Mas Edi mencitakan Nepal van Java menjadi kawasan wisata yang ramah lingkungan, mengusung konsep hospitalitykepada pengunjungnya dengan tetap mempertahankan tradisi dan budaya yang telah lama berjalan di dusun Butuh tersebut.

Sejauh ini, dia memuji upaya warga di Nepal van Java dalam upaya mempertahankan lahan mereka. Karakter sebagai Muslim agraris, dengan kegiatan pertanian dan keramahtamahan kepada tamu dan alam, dibalut dalam kesederhanaan hidup sebagai warga desa, tidak tercerabut akibat status baru sebagai desa wisata.

Dia membayangkan Nepal van Java sebagai kawasan wisata yang menjadikan kegiatan bertani penduduk setempat sebagai nilai tambah yang ditawarkan kepada para wisatawan. Para wisatawan bisa turut dalam kegiatan pertanian seperti menanam kentang atau memanen loncang; bisa juga berbelanja aneka sayuran dari Nepal van Java sebagai oleh-oleh untuk keluarga.

Para petani tersebut, imbuhnya, sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang memadai dari pengelola kawasan wisata dan pemangku kebijakan. Sebab, ketika kegiatan pertanian itu terhenti (bisa bersebab jual beli tanah dengan para investor atau lainnya), tidak ada lagi yang akan menjadi pesona dari wisata Nepal van Java.

Bisa jadi, ungkapnya, jika tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, Nepal van Java akan menjadi onggokan dalam sejarah desa. Tidak ada lagi wisatawan yang bertandang ke sana. Dan hal semacam itu bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, peristiwa semacam itu telah di beberapa kawasan wisata lainnya.

“Berat, Mas, jika masyarakat harus memulai lagi dari nol. Apalagi dalam keadaan tanah telah diganti dengan uang yang mungkin telah dibelanjakan entah ke mana!”

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth