Kolom Samman di Madura, dari Tarekat menjadi Budaya Daerah

Kolom Samman di Madura, dari Tarekat menjadi Budaya Daerah

Berbeda dengan tari Saman di Aceh. Tarekat Samman di Madura lebih menitikberatkan pada dzikir dan pemujaan kepada Allah.

Kolom Samman di Madura, dari Tarekat menjadi Budaya Daerah

Selepas Isya’, masyarakat desa berkumpul di sebuah rumah berbaris membentuk lingkaran. Seorang tokoh di tengah lingkaran memulai bacaan dan diikuti para jamaah. Pelan dan perlahan suara dzikir mulai terdengar beriringan dengan tepuk tangan dengan serempak dan kompak.

Semakin larut malam, dzikir akan semakin cepat dan semakin keras. Lingkaran berbaris yang tadinya duduk itu berdiri. Menari mengikuti irama dengan kencang melantunkan dzikir seraya terus menepukkan tangan. Budaya ini, oleh orang Madura di kenal dengan Kolom Samman.

Kolom berarti kumpulan rutinitas sosial di Madura, sedang Samman adalah nama tarekat yang dinisbatkan pada nama pendirinya.

Berbeda dengan tari Saman di Aceh. Tarekat Samman lebih menitikberatkan pada dzikir dan pemujaan kepada Allah. Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Saman al-Hasaniy yang lahir di Madinah tahun 1132 H. serta merupakan keturunan Rasulullah dari jalur sayyid Hasan.

Semula Syekh Samman belajar tarekat Khalwatiyah di Damaskus. Seiring berjalannya waktu, beliau mulai merintis dzikir, wirid dan ajaran – ajaran tasawwuf. Ia menyusun cara pendekatan diri kepada Allah SWT. dan pada akhirnya di kenal dengan tarekat Sammaniyah.

Tarekat Sammaniyah berhasil memperluas jaringan dan pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu Maroko hingga Mesir, Suriah dan Arabiya. Daerah yang paling banyak mengikuti tarekat Samman sekarang ini adalah Sudan. Tarekat Samman masuk ke Sudan berkat jasa Syekh Ahmad Tayyib bin Bashir yang baru selesai belajar di Mekkah pada tahun 1800-an.

Di Indonesia, tarekat Samman didirikan oleh Syekh Haji Ibrahim bin abdullah yang lahir pada tahun 1920 di Padang dan meninggal di tahun 1991. Ia menerima tarikat Samman dari Syekh Abdurrahman Kemangoniah di Padang Panjang.

Tarekat Samman tersebar di penjuru Nusantara dan menjadi budaya di Banten berkat kesultanan Banten yang banyak mempraktekkan tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah, Naqsyabandiyah dan yang paling populer hingga kini adalah tarekat Sammaniyah.

Sampai saat ini belum dijumpai sejarah secara valid transmitter (sanad) serta sejarah tarekat Samman sampai ke Madura. Aturan tarekat, pada umumnya harus memiliki pembimbing, yang dikenal dengan mursyid. Namun murysid ini tidak dijumpai pada Kolom Samman di Madura, sehingga Samman di Madura lebih dikenal sebagai budaya yang bersifat keagamaan dari pada suluk menuju Allah.

Berbeda dengan Banjarmasin, walaupun budaya Samman seperti di Banten dan Madura tidak mengakar namun haul Syekh Samman diselenggarakan setiap tahunnya di kota Ctra Graha Banjar Baru. Haul tersebut memiliki sisi historis, karena diketahui bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman, ternyata memiliki beberapa murid dari Nusantara, khususnya dari Banjar. Di antaranya: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abul Abbas Ahmad at-Tijani, Syekh Abdusshomad al-Falimbani, Syekh Abdul Wahab Bugis, Syech Abdurrahman al-Batawiy, dan Syekh Dawud al-Fattani.

Sampai saat ini, Samman tetap eksis di empat kabupaten di Madura. Walaupun tarekat Samman sudah lebur menjadi kultur, namun esensi ritual memuja Allah dan baginda Nabi tidak hilang.

Wallahu A’lam.