Sebelum mengklasifikasikan niat puasa ke dalam beberapa bagian. Pertama-tama perlu diketahui bahwa puasa yang disyariatkan dalam Islam terdiri dari dua jenis, yaitu puasa wajib dan sunah. Puasa wajib sendiri terbagi menjadi dua. Pertama puasa yang kewajibannya diatur berdasarkan periode, seperti halnya puasa Ramadhan. Dan puasa yang kewajibannya muncul karena alasan tertentu.
Seperti halnya puasa nazar, puasa ini wajib karena seseorang pernah berjanji atas nama Allah dan ia mengingkari janjinya, serta puasa kafarat yang wajib ketika seseorang tidak mematuhi larangan atau perintah Allah seperti kafarat bagi orang yang menzihar istrinya. Sedangkan puasa sunah contohnya adalah puasa Asyura atau 10 Muharram, puasa ‘Arafah, puasa senin dan kamis, dan lain sebagainya.
Niat dalam puasa adalah suatu hal yang sangat fundamental, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab bahwa menurut mazhab Syafi’I, tidak sah ibadah puasa seseorang kecuali disertai dengan niat, baik itu puasa wajib maupun puasa sunah.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama kecuali beberapa ulama seperti Mujahid, Atha’ dan Zafr, menurut mereka ketika seseorang memasuki bulan Ramadhan dengan kondisi fit, tidak ada halangan untuk mengerjakan puasa dan dia tidak sedang bepergian, maka ia tidak lagi membutuhkan niat untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Namun pendapat yang terakhir ini dianggap lemah oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayah-nya.
Meskipun bahwa niat adalah suatu hal yang fundamental dalam menjalankan ibadah puasa, akan tetapi dalam penerapannya terdapat perbedaan antara puasa wajib dan puasa sunah. Niat dalam puasa wajib dikerjakan sebelum datang waktu fajar, sedangkan niat untuk puasa sunah boleh dikerjakan sebelum atau setelah terbitnya fajar. Hal ini didasarkan pada dua hadis yang masing-masing diriwayatkan oleh Hafsah dan ‘Aisyah;
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang belum berniat untuk puasa sebelum datang waktu fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR: al-Tirmizi)
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ – رضى الله عنها – قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ « يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَىْءٌ. قَالَ « فَإِنِّى صَائِمٌ ».
“Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin RA, ‘Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepadaku, ‘Apakah kalian memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’, ‘Tidak, kami tidak memiliki apapun.’ Jawabku. Rasul pun mengatakan, ‘Jika demikian, maka aku puasa.’” (HR: Muslim)
Dijelaskan oleh Imam al-Tirmizi bahwa yang dimaksud dalam hadis di atas adalah seseorang tidak dianggap sah dan sia-sia menjalankan puasa Ramadhan, atau puasa wajib lainnya ketika ia tidak mendahuluinya dengan niat yang dilakukan sebelum terbitnya fajar. Sedangkan untuk puasa sunah, diperbolehkan untuk berniat baik sebelum atau sesudah fajar. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Imam Malik, menurutnya tidak dianggap sah dan sia-sia ibadah puasa seseorang, baik itu ibadah puasa wajib maupun ibadah puasa sunah, jika ia tidak berniat menjalankannya sebelum terbitnya fajar. Bertolak belakang dengan pendapat ini, Imam Abu Hanifah sebagaimana dinukil Ibnu Rusyd, justru memperbolehkan seseorang untuk berniat puasa Ramadhan, nazar, dan puasa-puasa sunah setelah terbitnya fajar. Namun ia mewajibkan berniat sebelum fajar bagi orang-orang yang mengerjakan puasa kafarat.
Adapun terkait bagaimana niat itu dikerjakan, maka menurut Abu Hanifah seseorang diperbolehkan niat untuk menjalankan puasa secara umum tanpa harus menjelaskan puasa yang akan ia kerjakan. Demikian pula ketika seseorang niat mengerjakan puasa selain Ramadhan, dan ia menggantinya menjadi niat puasa Ramadhan, maka hal ini juga diperkenankan. Kecuali jika ia seorang musafir, maka ia harus menjelaskan niat puasa yang ingin ia kerjakan.
Bagi Imam Malik, seseorang wajib menjelaskan niat puasa yang akan ia kerjakan, tidak cukup seseorang hanya meyakini bahwa ia akan puasa tanpa menjelaskan niat puasa yang ingin dia kerjakan, khususnya puasa Ramadhan.
Imam As-Syafi’i sebagaimana Imam Malik menganggap bahwa puasa wajib seluruhnya mengharuskan seseorang untuk menjelaskan niat puasa yang ingin dikerjakannya, hal ini didasarkan atas sabda Nabi SAW, bahwasanya segala sesuatu sesuai dengan niatnya. Wallahu a’lam.