Klaim Teologis vs Sejarah

Klaim Teologis vs Sejarah

Klaim Teologis vs Sejarah

Kemarin, di Facebook, dalam salah satu postingan saya ada kalimat yang menyebut Hindu sebagai agama yang lahir ribuan tahun sebelum Islam, muncul dua komen ini.

image

Tentu saya langsung ngeh dengan maksud mereka, meski tetap saya pancing-pancing agak panjang buat hiburan hehe.

Pada hemat saya, klaim teologis yang menyatakan bahwa para nabi sebelum Muhammad adalah muslim (sebagaimana disebutkan Alquran) mesti didudukkan pada porsinya.

Pertama, kata ‘muslim’ dalam ayat-ayat tersebut (misalnya Al-Baqarah: 130-132 tentang Ibrahim) oleh para mufasir dimaknai sebagai “orang-orang yang berserah diri, tunduk dan patuh kepada Allah”.

Kedua, jika kata ‘muslim’ di situ dimaknai secara mentahan sebagai beragama Islam, alias menjalankan sistem keyakinan dan konsep hidup bernama “Islam”, akan terjadilah ke-kacau-balau-an konstruksi sejarah.

Misalnya, Zaman Keemasan Islam tak perlu lagi dirujuk ke Baghdad atau Andalusia di abad ke-8, melainkan cukup ke Yerussalem di masa Nabi Sulaiman 3000 tahun silam (Eh Yerussalem apa Magelang tempat Borobudur sih? Saya kok agak lupa.)

Atau jika anak-anak MTs atau MA diminta menjelaskan kapan Islam pertama kali tersebar di luar Jazirah Arab, gampang saja. Tinggal jawab sejak zaman Nabi Adam, yang konon oleh Tuhan diturunkan dari surga entah ke Afrika atau Sri Lanka atau India atau Atlantis-Nuswantara.

(Dan waktu itu pemeluk Islam cuma dua orang. Ya, itu persis ketika Adam bilang, “Hawa, engkaulah satu-satunya perempuan yang kucintai.” Lalu Hawa menjawab, “Plis deh Beb, emang ada perempuan lain di dunia ini?”).

Di situlah kaburnya kategori dan pembabakan sejarah saat klaim teologis dibawa-bawa ke ranah ilmiah. Jika Kristenitas pada Abad Pertengahan Eropa bermasalah dengan sains, mungkin Islam akan bermasalah dengan historiografi.

Secara “kerapian epistemologis”, agaknya dua komentator ini lebih pas jika komplainnya bukan “Anda banyak baca buku,… dst.” melainkan “Anda ngaku muslim, tapi kok bilang Hindu lebih dulu ketimbang Islam?”

Nah, kalau bunyi pertanyaannya begitu, tentu bakalan lebih jelas wilayah bahasannya, bukan? Dalam banyak sisi, teologi memang sulit rukun dengan ilmu pengetahuan.

“Wah antum sekuler! Memisahkan antara agama dan urusan dunia!” Boleh jadi begitu. Tapi emangnya trus gimana jawabannya? Hayo…