Yang penting diketahui mengenai bulan Rajab, selain keutamaaan serta ibadah-ibadah yang dapat dilakukan di dalamnya, adalah tentang kitab-kitab para ulama yang mengulas tentang bulan Rajab. Salah satunya adalah kitab Tabyinul ‘Ajab Bima Warada fi Fadli Rajab karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
Kitab Tabyinul ‘Ajab menarik dikaji, sebab selain karena secara khusus mengulas hadis-hadis yang menerangkan keutamaan ibadah di bulan Rajab maupun bulan Rajab sendiri, juga dikarang seorang pakar hadis terkemuka dan penyusun Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari; Ibnu Hajar al-Asqalani. Ibnu Hajar lahir di kisaran tahun 773 H atau 1372 M, dan wafat tahun 852 H atau 1449 M.
Di pendahuluan kitab ini, Ibnu Hajar menceritakan latar belakang disusunnya kitab ini. Yaitu banyaknya permintaan para santri-santri Ibnu Hajar, agar Ibnu Hajar menyusun sebuah kitab yang mendokumentasikan riwayat-riwayat tentang keutamaan bulan Rajab sendiri, dan tentang shalat, serta puasa Rajab. Serta menjelaskan mana riwayat yang sahih dan mana riwayat yang bermasalah. Ibnu Hajar kemudian mulai menyusunnya, berdasar pengetahuan-pengetahuan beliau di saat itu juga.
Saat pembaca pertama kali membaca kitab ini, mungkin yang terlintas adalah bahwa ibadah di bulan Rajab keseluruhannya menyalahi syariat. Sebab dasar hadisnya kalau tidak maudhu (palsu), ya dhaif (lemah). Padahal bila dilihat secara keseluruhan, Ibnu Hajar hanya menjelaskan hasil penelitiannya tentang hadis-hadis mengenai bulan Rajab. Tidak hendak menyatakan bahwa keutamaan bulan Rajab tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalam al-Qur’an. Juga tidak hendak menyatakan bahwa apa yang dilakukan umat muslim terkait bulan Rajab semuanya salah, dengan menutup kemungkinan adanya pendapat ulama lain yang berbeda serta dapat dijadikan pegangan umat muslim.
Hal ini dapat dilihat tatkala mengulas tindakan para sahabat yang menyatakan larangan berpuasa di bulan Rajab. Ibnu Hajar menyatakan bahwa larangan ini diperuntukan bagi orang yang berpuasa di Bulan Rajab dengan tujuan-tujuan penghormatan seperti yang dilakukan orang-orang di masa jahiliyah. Tapi, bila berpuasa dengan tanpa tujuan tertentu yang mengarah pada mewajibkan diri atau mentertentukan hari tertentu, maka masuk pada kategori pengecualian.
Ibnu Hajar kemudian menyatakan bahwa perihal orang yang berpuasa di Bulan Rajab dan meyakini puasa di bulan itu lebih utama dari bulan lainnya, beliau tidak secara tegas mengharamkan berdasar bahwa tidak ada hadis sahih tentangnya. Beliau hanya menyatakan bahwa persoalan tersebut perlu kajian mendalam. Meski kemudian beliau memilih mengkuatkan kemungkinan hukum dilarang, tanpa menjelaskan apakah larangan itu mengarah ke hukum makruh maupun haram.
Keutamaan bulan Rajab yang semestinya juga membuat ibadah di dalamnya lebih utama dari bulan-bulan lain, secara umum dapat diperoleh keterangan al-Qur’an surat at-Taubah ayat 36 tentang empat bulan yang dimuliaakan Allah, dan salah satunya adalah bulan Rajab:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dimuliakan. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Taubat Ayat 36)
Kitab Tabyinul Ajab mengulas beberapa hal yang bila disimpulkan memiliki inti mengulas sekilas tentang nama-nama bulan Rajab, tentang keutamaan bulan Rajab, tentang hadis-hadis yang menerangkan keutamaan dimana terbagi pada yang tergolong dhaif serta maudhu’, dan ulasan panjang lebar mengenai hadis larangan berpuasa di bulan Rajab.