Daoed Joesoef pantang jadi menteri manis. Di naungan Soeharto, ia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 1978-1983. Pulang dari Prancis, lelaki menjalani masa bocah-remaja di Medan itu dianggap pantas memikirkan nasib pemajuan pendidikan di Indonesia. Jabatan diterima tapi watak keras tak pernah meluntur demi menuruti “bapak” atau bermufakat dengan tuntutan publik. Pada hari-hari awal menjadi menteri, meja kerja harus ada mesin tik. Para bawahan kaget dan bingung. Mesin tik di meja menteri? Daoed Joesoef bicara agak mangkel atas kebingungan para pegawai. Ia memastikan ingin menulis, bukan menjadikan mesin tik itu hiasan wagu. Pegawai menganjurkan agar urusan mengetik diberikan ke staf.
Di kementerian, ada tim pembuat pidato dan pengetik untuk menteri. Daoed Joesoef “marah”. Ia ingin mengetik dan membuat pidato, bukan membacakan pidato buatan para pegawai. Daoed Joesoef memang “mengetik” Indonesia, pemberi pidato-pidato ingin berkhasiat. Teks-teks pidato terbit menjadi buku, 8 jilid.
Pada saat menjalani hari-hari sebagai menteri, Daoed Joesoef biasa mendapat kritik dari sesama menteri, pejabat, ulama, pengamat, dosen, dan umat Islam. Kejadian agak menggelikan saat kantor didatangi kaum muda Islam ingin protes atas gambar keluaran kementerian. Gambar di buku pedoman mengerti dan mengamalkan Pancasila terdapat pohon di depan masjid. Para pemuda meminta Daoed Joesoef meralat atau minta maaf berdalih pohon cemara itu simbol agama Kristen. Mengapa berada di depan masjid?
Daoed Joesoef perlahan memberi khotbah pendek bahwa Tuhan mencipta pohon-pohon berfaedah. Pohon tak beragama. Khotbah belum memuaskan para pemrotes. Sang menteri pun menganjurkan agar mereka datang ke Departemen Agama agar berdebat dulu. Hasil debat boleh dibawa ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Anjuran sengaja dan berkelakar. Daoed Joesoef mengetahui jika di depan kantor Departemen Agama bertumbuh pohon-pohon cemara. Di hati, ia berdoa agar pohon-pohon itu selamat dari protes dan tak ditebang berdalih tafsir agama secara picik.
Dua peristiwa itu mungkin mengagetkan pembaca saat ingin mengenang Daoed Joesoef (8 Agustus 1926-23 Januari 2018). Masa menjadi menteri sering berisi “marah” dan tindakan-tindakan memicu debat panjang. Biografi diri tak melulu menteri. Daoed Joesoef mengenang masa bocah dan remaja bergelimang buku dan doa-doa emak. Ia bergirang membaca buku-buku dalam pelbagai bahasa. Selingan melukis pun memberi ketakjuban pada segala hal. Pada buku-buku, Daoed Joesoef merancang nasib menjadi orang bermutu alias berpikir waras dan beradab. Kebiasaan melukis itu bentuk permainan tafsir makna atas hidup. Bermula membuat gambar-gambar di tanah, Daoed Joesoef berhasil menjadi ilustrator penerbitan novel-novel di Medan. Ia pun membuatkan gambar-gambar bagi bioskop.
Episode gemar melukis sampai ke “marah”. Ia bergabung dengan Seniman Indonesia Moeda. Hidup bersama para seniman membuat Daoed Joesoef senewen dan “benci”. Cara hidup “bohemian” sering memunculkan curiga pribadi sembrono dan tak keruan. Daoed Joesoef memilih rapi, tertib, dan rajin. Pilihan itu menimbulkan polemik di kalangan pelukis di Jogja dan Solo. Daoed Joesoef sampai “bertengkar” dengan Soedjojono. Pertengkaran akibat Daoed Joesoef membantah. Ia menolak “perintah” Soedjojono agar melukis secara total.
Di pikiran Daoed Joesoef, bersekolah mempelajari ilmu pengetahuan sampai perguruan tinggi terpilih ketimbang ada di bawah perintah-perintah Soedjojono. Ia pun dikeluarkan dari SIM. Konon, peristiwa itu membuat Daoed Joesoef beruntung, tak ada kecewa dibawa sampai mati. Ia tenar sebagai pemikir, bukan pelukis. Ia menjadi lulusan universitas mentereng di Prancis. Pulang ke Indonesia, Soeharto sering memanggil dengan sebutan Doktor Daoed Joesoef. Panggilan agak meninggikan derajat intelektual meski dua orang itu biasa “bermusuhan” ide dan kebijakan. [Bersambung]