Panggil saja namanya Pak Darto. Seorang tua yang tinggal di sebelah pondok pesantren kami di Jogja. Rambutnya putih, badannya kecil tegap, berjalannya pelan tapi pasti. Untuk orang seumurannya bisa dibilang Pak Darto masih segar bugar.
Meski di masyarakat dia dikenal mengalami sedikit gangguan mental, tapi jujur saja, kami tak pernah menemui kendala berarti saat mengobrol dengannya. Sebaliknya, Pak Darto sangat humoris dan egaliter. Di usia kami yang terpaut puluhan tahun, Pak Darto bisa jadi teman yang asyik saat diajak mengobrol dan guyonan.
Dia sering main ke pondok kami, ikut jamaah maghrib, atau hanya sekadar numpang duduk di teras depan aula. Biasanya, anak-anak pondok yang sedang libur sekolah atau tak ada jam kuliah mengajaknya mengobrol. Kadang membuatkannya kopi.
Suatu hari, di teras aula, Pak Darto bercerita pada kami.
“Aku kemarin habis dimarahin orang kampung,” katanya, memulai cerita.
“Lha emang kenapa pak?” kami pun merespon antusias.
“Adzan dzuhur di masjid jam 11… hehe”
“Loh kok bisa?” kami yang penasaran mencoba mengejarnya.
“Lha tak kirain sudah jam 1.. hehehe”
Kami yang mendengar sontak tertawa. Pak Darto juga tertawa. Tawanya hampir mirip alhmarhum Mbah Surip, Hanya minus suara bass-nya saja.
Pak Darto memang sudah langganan adzan dzuhur di masjid kampung setempat. Tapi entah kenapa kali ini dia adzan mengikuti Waktu Indonesia Timur: dua jam lebih cepat. Salah lihat jam, katanya.
Mendengar adzan lebih awal, orang-orang kampung langsung datang ke masjid. Mulai dari mereka yang memang rajin ke masjid, sampai yang jarang-jarang ke masjidpun tak mau kalah. Lengkap pokoknya. Sebagian ingin mengingatkan. Tapi kebanyakan tak tahan memarahi.
Di tengah ceritanya, kami mengira Pak Darto akan pasrah oleh amarah massa. Dia bakal minta maaf karena memang salah melihat jam. Maklum, sudah tak muda lagi.
Dan betul, dia memang minta maaf atas kesalahannya. Tapi tak berhenti di situ. Pak Darto tak mau kalah. Dia pun ganti memarahi warga.
“Kalian ini! Kalau saya adzan jam 1 pada ndak mau dateng. Giliran saya adzan jam 11 malah pada dateng semua!”
Kami tertawa lagi mendengarnya. Tertawa lebih kencang. Tapi kali ini tawa kami diiringi renungan. Benar juga ya. Salah seorang dari kami teringat cerita sufi yang hampir mirip. Sedangkan saya hanya bisa mengagumi indahnya kebijaksanaan dan humor yang dibalut menjadi satu.
Saya ingat, fenomena seperti ini juga pernah direkam dalam film karya Salman Aristo berjudul Jakarta Maghrib (2010). Di segmen “Adzan”, terdapat adegan seorang preman kampung sedang mengobrol dengan bapak tua penjaga warung depan musala.
“Sebenernya, apa sih yang babe dapet?” tanya si preman. Dia heran dengan penjaga warung yang rajin bersih-bersih dan adzan di musala.
“Yaaah, saya ingin adzan tepat waktu setiap hari. Adzan itu tanda. Ngasih tahu ke orang-orang sudah saatnya ngobrol sama Tuhan. Apalagi maghrib. Nampaknya hanya maghrib saat orang-orang jamaah di Jakarta ini,” kata penjaga warung. “Yaaah, satu dua sih masih ada yang mampir ke musala kita, itupun pas maghrib,” lanjutnya.
Ya, kita semua tahu kalau kini jumlah masjid semakin banyak. Tak hanya itu, pembangunan musala juga kian menjamur. Sekadar mencari tempat salat yang mewah dan nyaman pun bukanlah perkara sulit. Tapi di sisi lain, diakui atau tidak, masjid dan musala kita semakin sepi. Orang-orang rajin menyumbang, tapi sedikit yang mau menghidupi.
Tempat ibadah ini seringkali ramai pada momen-momen tertentu saja. Salat jumat yang mingguan, salat ied yang tahunan, atau salat taraweh yang juga tahunan, itupun hanya di minggu-minggu awal. Sedangkan pada hari-hari biasa, sepertinya masjid atau musala seringkali hanya dipenuhi wajah anak-anak dan orang tua saja.
Kita sebagai warga sekitar sepertinya bangga kalau mempunyai masjid mewah. Sayangnya, mewah dan indahnya suatu masjid tidak berbanding lurus dengan hidupnya masjid tersebut. Terkadang kita sudah puas hanya dengan menyumbang dengan jumlah yang tak seberapa. Tapi tak pernah gelisah ketika masjid kita hanya diisi segelintir orang yang sebatas memenuhi shaf depan saja.
Rasa bangga kita pada masjid atau musala yang merasa kita miliki itu, tanpa ada upaya ikut menghidupinya, mengingatkan saya pada konsep cinta Buddha yang bijaksana. Buddha pernah berkata, ketika kamu menyukai mawar, kamu akan memetiknya. Tapi kalau kamu mencintai mawar, kamu akan menyiraminya.
Gejala bangga dan merasa memiliki kita sepertinya hanya menuntun kita pada level suka. Kita adalah orang-orang yang menyukai masjid. Kita akan marah kalau ada yang adzan tidak tepat waktu. Kita akan menghadang siapa saja yang seenaknya berbuat keresahan di “masjid kita”.
Tapi sepertinya kita lupa pada substansi yang lebih dalam dan penting dari rasa suka itu, yaitu mencintai. Kita lupa tujuan awal masjid tersebut didirikan. Ya, tentu saja, untuk beribadah kepada tuhan kita. Bukan untuk kompetisi antarwilayah, bukan untuk syarat supaya kampung kita terlihat agamis, apalagi menjadi tempat politis untuk menebar kebencian dan adu domba.
Pak Darto memang telah mangkat beberapa tahun lalu. Tapi apa yang dia katakan pada massa yang memarahinya dulu, menjadi tamparan keras pada kita supaya tak hanya berhenti di level suka saja. Kita perlu masuk lebih dalam lagi. Ya, kita butuh mencintai. Kita butuh menghidupi masjid-masjid dan musala-musala yang selama ini hanya kita sukai.
Mohammad Pandu, penulis adalah penikmat buku dan keheningan.