Masalah terbesar keagamaan dari orang Islam kebanyakan, atau mungkin juga non muslim, adalah seringkali memandang segala sesuatu hanya dari satu sisi atau sudut pandang tunggal, terkadang secara hitam putih saja, bahkan atas dasar kepentingan sendiri. Sikap merasa lebih unggul, lebih banyak jumlahnya, lebih kuat atau lebih-lebih dari pihak lainnya seringkali menimbulkan sikap diskriminatif terhadap pihak lain. Klaim kelebihan pada umat Islam itu misalnya hanya
bermanfaat apabila dimaksudkan untuk keselamatan seluruh umat manusia, apa pun agama yang dianutnya, bukan terkhusus bagi penganut Islam saja.
Dalam kehidupan yang penuh kompetisi untuk mencapai kehidupan lebih sejahtera, damai, dan bermakna, yang karenanya memerlukan saling kerja sama, seharusnya agama yang dianut tidak lagi menjadi sekat yang menghalangi, apalagi sebagai alasan untuk saling bermusuhan. Oleh sebab itu, semua pihak harus menghindarkan diri dari egoisme atau individualisme (ananiyah) dalam setiap upaya meraih kemaslahatan bersama menuju pergaulan hidup yang lebih memprioritaskan “kekitaan” tanpa mengorbankan keyakinan agama yang dianut dan diyakini kebenarannya.
Para tokoh agama pada umumnya berkewajiban memahami substansi agamanya secara lebih mendalam sambil terus meluaskan wawasan “kekitaan”nya sehingga menjadi tokoh yang bijaksana lagi patut menjadi suri teladan terbaik bagi para pengikutnya. Mereka idealnya harus mampu bergaul luas secara lebih baik dengan siapa pun, dan bukan sekedar bisa menyapa umatnya sendiri. Bukan tokoh agama yang sesungguhnya bila yang dilakukan adalah hal sebaliknya, yakni membuat kegaduhan yang membahayakan perdamaian, memutus tali persaudaraan antara sesama manusia yang seagama atau tidak, justru memprovokasi para pengikutnya saling bekerja sama dalam dosa dan saling bermusuhan.
Adanya sebagian tokoh agama manapun yang melakukan penyimpangan, sebagai mana disebutkan di atas, jelaslah harus segera diingatkan atau bila perlu ditinggalkan dan tidak perlu berlama-lama mengaguminya. Umat Islam di Indonesia khususnya pada saat ini harus mulai belajar berendah hati, bahwa pada agama lainnya juga memiliki para pemimpin yang diteladani para pengikutnya, dan bahkan kelebihan-kelebihannya yang bersifat universal juga layak menjadi cermin perbandingan untuk keteladanan bagi umat Islam sendiri.
Dalam Islam sendiri, di luar madzhab Sunni, yakni golongan Syi’ah ada Imam Khomeini yang mengobarkan semangat “agenda keulamaan” kepada umatnya untuk melawan kesewenang-wenangan tiran sekuler. Dalam Kristen kita pernah mendengar tentang kegigihan Martin Luther King Jr. menyampaikan isu persamaan status manusia di hadapan Tuhan. Dari para penganut agama Yahudi juga ada banyak sumbangan besar bagi kemajuan peradaban manusia di berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, kususasteraan, dan sebagainya, meski kini Zionis Israel masih merampas hak warga Palestina dalam menentukan nasib mereka sendiri. Selanjutnya, dalam agama Hindu, kita umat Islam juga perlu salut dan meneladani Mahatma Gandhi yang dengan ahimsa dan satyagrahanya menebar luaskan pentingnya rasa kasih sayang sebagai fondasi kuat persaudaraan antara sesama manusia.
Namun sayangnya, penganut agama yang hanya bermodal semangat tinggi tapi kurang berilmu seringkali justru mengecam dan menghardik siapa saja dari tokoh agamanya sendiri, apalagi dari agama berbeda, yang berperspektif lebih inklusif. Semua itu, pada hakikatnya justru menunjukkan eksisnya kekeroposan spiritual pada jiwa-jiwa mereka yang selalu memandang segala hal dari satu sudut pandang belaka dan bahkan demi meraih atau melindungi kepentingannya sendiri. Setiap umat beragama sudah seharusnya saling menghargai dalam hal yang berbeda dan tidak ada titik temunya, serta saling bisa bekerja sama untuk meraih hal-hal yang bersifat universal sebagai kebutuhan hidup bersama sebagai manusia yang hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.