Suatu ketika saya bersama teman yang lain menghadiri jamuan makan siang bersama umat gereja Katolik Santo Barnabas di Pamulang. Lawatan tersebut bukan pertama dan saya tidak sendirian. Selain kami hadir pula beberapa lembaga dan ormas keislaman seperti Ansor NU, FKUB dan lain sebagainya.
Sesampainya di sana, Vivi sahabat saya mengawali menjabat tangan dengan beberapa orang kenalannya Bu Siska misalnya. Ramah tamah tadi kami lanjutkan dengan menghampiri Romo Petrus sekaligus dengan tulus mengucapkan selamat natal dari teman-teman Gusdurian Ciputat. Ucapan salam teman-teman disambut hangat dengan Romo Petrus.
Sebelum acara dimulai, kami makan bakso terlebih dahulu. Tepat di depan meja registrasi maju sedikit ada tukang bakso Malang. Kami mengantri barang sebentar, saat tiba gilirannya tanpa tedeng aling-aling saya tanyakan begini
“Mas wong Jowo toh? iyo mas jawabnya sambil melayani. Sebelum rapih melayani saya buru dengan pertanyaan berikutnya, Jowone pundi mas? Aku Malang mas, jawabnya tegas.
Sejenak saya terpikir, ko bisa hadir di sini yak. Antara sebentar saya biarkan pikiran tadi. Rasa penasaran terus-terusan membuntuti pikiran. Tanpa peduli yang lain, kami berempat mengunyah bakso Malang tadi.
Perpaduan cuaca yang mendung dan racikan yang gurih semakin memanjakan lidah. “Itu bakso enak sih. Sumpah,” gumam saya.
Tidak lama setelah kami selesai makan bakso, hujan pun turun. Jadilah suasana semakin sejuk dan redup. Sembari menunggu acara dimulai, saya bakar rokok dan kembali melanjutkan obrolan sama tukang bakso Malang tadi.
“Mas ko iso ke sini, pie ceritanya?”
“Anu mas, iki loh mulanya dari pak Bayu ngajak aku ke sini, ndilalah merasa cocok. Akhirnya aku diundang langsung sama Pak Petrus. ketusnya.
“Ah gitu ya mas. Ngene mas, iki jenenge rezeki dari Pusat. Bisa yak, orang yang berbeda iman memberi rezeki”
“Iyo mas. Alhamdulillah,” jawabnya lagi.
Saat itu juga saya teringat ucapan Gus Dur, kurang lebih begini, “Saat kamu berbuat baik kepada semua orang, orang tidak tanya apa agamamu”.
Jujur saja, kata-kata barusan sangat tidak asing bagi saya. Sudah biasa. Ia sama seperti kata-kata pada umumnya. Banyak bertengger di dinding-dinding media. Akan tetapi momen kemarin, saya merasakan satu hal yang beda, semacam menemukan kedalaman makna dan kesadaran seutuhnya. Bahwa beginilah agama yang sejujurnya. Agama yang pemeluknya dapat memberi dan menebarkan kebahagiaan umat lainnya.
Pada saat bersamaan, kesadaran utuh lainnya adalah semakin meyakinkan memang beginilah cara Tuhan memberi rezeki. Rezeki datang dari segala arah, bahkan sampai yang tidak masuk akal sekalipun. Kasih sayang Tuhan hadir bagi pemeluknya yang benar-benar meresapi ajaran agamanya. Ia sadar, bahwa meyakini Tuhan sama berarti mengasihi umat manusia. Begini yang saya temukan di momen itu.
Sebagian dari kita, terkadang masih ragu atas kuasa Tuhan, seolah tidak ada jaminan buat besok hari. Padahal, cara berpikirnya ringkas saja, mana mungkin Tuhan tidak bertanggung jawab atas kehidupan hambanya. Lah gimana, dia yang menghidupkan kok. Kira-kira begitu.
Tapi memang, alami saja, kadang sebagian manusia begitu. Peresapan dan pengendapan yang kurang matang barangkali.
Acara pun dimulai, Romo Petrus menyampaikan satu dua kata. Antara lain rasa khawatirnya kepada anak muda. Romo menyayangkan hari ini, pemuda kita kadang lupa akan budayanya sendiri. Terlebih hari ini, pemuda kita kebanjiran budaya luar. Karenanya, Romo mendukung habis-habisan anak muda belajar gamelan dan semacamnya. Romo takut pemuda di masa depan, tercerabut bahkan tidak kenal dengan budayanya sendiri.
Acara kemarin memang diiringi musik gamelan yang dimainkan oleh anak-anak SMP hingga SMA. Satu keharusan memang. Ada ujar-ujar lama yang mengatakan begini,
“agama tanpa kebudayaan yang ada hanyalah kedangkalan”. Irisan agama dan budaya bahkan negara memang tipis. Ia tidak bisa dilepaskan begitu saja. Agama tanpa budaya, kering. Warga bangsa tanpa mengenal budayanya, jadi asing. Kira-kira begitu.
Jadi memang begitu, kemanusiaan mendahului keberagamaan.