Tahun 2018 adalah perjalanan pertama saya menyusuri Islam di Negeri Sakura. Entah mengapa, di antara berbagai negara, Jepang adalah pilihan utama saya. Muslimnya yang menjadi minoritas membuat saya semakin penasaran bagaimana kehidupan mereka di sana.
Berbekal ransel punggung dan satu koper, saya berangkat seorang diri dari Tanah Air tercinta, Indonesia. Bisa dibilang perjalanan ini cukup nekat bagi saya yang merupakan seorang perempuan, namun keinginan untuk menengok Islam di sana begitu kuat.
Perjalanan saya di Jepang hanya mengandalkan google map. Sore itu, setelah saya berkunjung melihat saudara sebangsa di Sekolah Indonesia Tokyo, saya melangkahkan kaki ke kantor Japan Muslim Association, tempat yang ssaya harap dapat memberikan informasi penting tentang khazanah Islam di Jepang.
Di sinilah saya bertemu Mr. Khalid Higuchi. Ternyata lelaki yang sudah berambut putih ini adalah seorang mualaf yang banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan Islam di Jepang. Orang-orang menyebutnya sebagai muslim yang paling tua di Jepang.
Duduk berhadapan dengannya sambil mendengarkan perjuangannya menyebar Islam di Jepang adalah sebuah kesempatan emas untuk saya.
Sebelumnya Mr. Khalid Higuci bukanlah penganut agama Islam. Mulanya ia hanya tertarik dengan Bahasa Arab semenjak mengenal guru Bahasa Arab yang berasal dari Kairo, Mesir di salah satu Universitas di Jepang.
Ketertarikannya tersebut membuatnya memutuskan untuk memperdalam Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Mesir. Tak disangka hidayah Allah datang padanya. Di usianya yang sudah berkepala lima, ia memutuskan untuk masuk Islam di Mesir. Baginya, usia bukanlah penghalang untuk mempelajari Islam.
Beberapa tahun setelahnya, Ia kembali ke Jepang dan merasa bahwa banyak sekali penduduk Jepang yang belum mengetahui Islam, agama rahmatan lil’alamin. Akhirnya ia mulai mengenalkan Islam di Jepang. Keterbatasan sumber buku tentang Islam membuatnya tak putus asa menyebarkan Islam di Jepang. Saat itu hanya buku-buku Islam yang berasal dari Eropa lah yang ia dijadikan rujukan oleh para penduduk Jepang yang baru masuk Islam.
Selain itu, tali pernikahan penduduk Jepang dengan penduduk muslim dari negara lain seperti Indonesia, Malaysia, India, dan lainnya juga menjadi bagian dari sejarah tersebarnya Islam di Jepang.
Perjuangannya bertahun-tahun menyebarkan Islam membuatnya dipercaya oleh masyarakat muslim Jepang untuk memimpin Japan Muslim Association.
Setelah bercerita perjuangannya tersebut, saya beralih menuju buku-buku yang tertata rapi di rak ruangan tersebut. Sebagai santri kurang afdhal rasanya jika tidak melihat al-Al-Quran dan Kitab Hadis yang ada di rak tersebut. Saya yakin ada keunikan tersendiri bagi masyarakat Jepang ketika membaca dan mempelajari Al-Quran dan hadis di sini.
Mr. Khalid Higuchi pun menyambut hangat rasa penasaran saya. Ia langsung mengambilkan Al-Quran, dan satu kitab Sahih Muslim yang saya cari-cari sebelumnya.
Dengan Bahasa Inggris yang tak lepas dari aksen Jepangnya, ia mulai menjelaskan bentuk al-Quran dan Kitab Sahih Muslim tersebut satu persatu. Uniknya, Kitab Sahih Muslim yang ada di Jepang ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang. Cara membaca terjemahannya pun bukan dari arah kiri ke kanan sebagaimana terjemahan dalam Bahasa Indonesia, melainkan dari arah atas ke bawah.
Tangan saya seketika bergetar ketika memegang kitab Sahih Muslim ini. Sebagai mahasantri yang pernah mempelajari hadis selama 4 tahun di Darus Sunnah, rasanya terharu sekali melihat kitab hadis berbahasa Jepang ini. Dalam hati saya seraya berkata “Wahai Rasulullah, di sini ada penjaga sunnahmu”.
Bulan April 2019 lalu, Mr Khalid Higuchi telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa tepat di usia 83 tahunnya. Artinya ini adalah pertemuan pertama dan terakhir saya dengan beliau.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan darinya, salah satunya tentang kontribusi kita sebagai muslim terhadap agama Islam itu sendiri. Rasanya tak afdhol sebagai muslim jika kita tak memberi manfaat kepada orang lain. Sebagaimana ajaran Nabi “khairunnas anfa’uhum linnaas” yang merasuk dalam kehidupan Mr. Khalid Higuchi ini.
Wallahu a’lam.