Jangan dikira bahwa seorang ustadzah hanya tahu shalat istikharah ketika hendak mencari solusi dari masalah yang dihadapinya. Shalat istikharah sudah pasti dilakukan. Tapi seorang ustadzah juga tidak jarang mengambil keputusan yang sangat rasional sebagaimana ustadzah muda yang saya temui kali ini.
Saya mengenalnya cukup lama. Dia putri seorang kiai besar di negeri ini. Di samping pendidikan agama yang langsung didapatkan dari ayah ibunya, dia sendiri juga mendapatkan pendidikan formal yang cukup baik. Saat ini dia memiliki jamaah anak-anak muda yang sangat banyak. Di mana pun dia berkunjung, anak-anak muda selalu mengerumuni untuk meminta nasehatnya.
Dalam posisinya seperti itu dan saat situasi politik sedang hangat menjelang Pilpres, dia tidak bisa menghindar dari pertanyaan tentang “siapa presiden yang harus saya pilih” dari para jamaahnya. Tidak seperti kebanyakan tokoh agama yang biasanya “mabok politik” dan dengan senang hati mengarahkan jamaahnya untuk memilih salah satu kandidat. Dia tidak pernah mau menyebut nama.
Seperti hari itu, kami bertanya kepadanya “kami harus memilih siapa?” Dia tidak menjawab pertanyaan kami. Dia hanya memberi empat hal yang bisa kami jadikan pertimbangan dalam memilih seorang pemimpin, termasuk memilih presiden.
Pertama adalah karakter. Ini menyangkut tentang kualitas mental dan moral seseorang. Kalau kita kebingungan mencari seorang pemimpinan, kita dianjurkannya untuk melihat karakter para kandidat: apakah dia seorang pemarah atau penyabar, arogan atau rendah hati, keras kepala atau mau mendengar nasehat, dan sebaginya.
Pertimbangan kedua adalah itikad atau niat. Mungkin ini agak sedikit abstrak. Bagaimana kita mengetahui niat seseorang? Tapi menurut ustadzah kita ini, sekalipun niat ada di dalam hati, tapi setiap orang memiliki kesanggupan untuk menangkap, sesamar apapun, niat yang ada pada orang lain. Ini seperti kemampuan kita menangkap niat jahat seorang preman yang mendekati kita di terminal atau jalanan sepi. Berdasarkan pertimbangan akal sehat dan pengalaman dicampur dengan naluri, kita bisa menangkap niat jahat yang ada pada orang tersebut.
Yang ketiga adalah kapabilitas atau kemampuan. Menurutnya, tidak mungkin kita menyerahklan urusan negara kepada orang yang tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan kerja-kerja pemerintahan. Karakter dan niat baik saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan kemampuan bekerja. Keinginan untuk bekerja dengan baik dan melakukan pekerjaan dengan baik itu dua hal yang berbeda. Melakukan pekerjaan dengan baik mempersyaratkan adanya kapabilitas.
Pertimbangan yang terakhir adalah track record atau rekam jejak. Kita bisa saja salah dalam menilai karakter, itikad, dan kapasitas seorang calon pemimpin, tapi kita bisa menemukan rekam jejaknya. Rekam jejak akan membuka siapa sesungguhnya dia. Nyaris tidak mungkin kita bisa memercayai seorang kandidat yang berapi-api menyatakan akan memberantas korupsi jika dia sendiri adalah seorang koruptor.
Tidak mungkin kita percaya pada seorang kandidat yang di mana-dimana berpidato akan memberantas kemiskinan jika dia selama ini mengeruk harta rakyat. Pun kita tak bisa diyakinkan bahwa dia akan menegakkan hukum jika masa lalunya berlepotan dengan pelanggaran hukum. Rekam jejak seseorang akan menolong kita untuk melihat konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Sampai di akhir pertemuan, dia sama sekali tak mau menyebut nama, sekeras apapun di antara kami mendesaknya. Dia hanya tersenyum sambil mengatakan “Gunakan empat pertimbangan yang sudah saya berikan. Insya Allah siapapun yang kamu pilih, dia adalah seorang pemimpin yang baik. Dan jangan lupa, tetap berdoalah kepada Allah agar kita tidak salah langkah dan diberi seorang pemimpin yang baik untuk menjaga Indonesia.”
Kami pun pulang dengan perasaan lega.[]