Ustadz Adi Hidayat (UAH) pernah ditegur orang setelah melakukan shalat di suatu masjid. Ia ditegur dua orang karena dianggap celananya isbal, menjulur melebihi mata kaki saat shalat. Menurut dua orang itu, berdasarkan hadis, isbal saat shalat bisa tidak sah.
Kisah ini diceritakan oleh UAH saat menjawab pertanyaan jamaah terkait menggulung celana saat shalat pada salah satu video ceramahnya. UAH kemudian menjelaskan jawaban atas pertanyaan itu dengan memperinci pemahaman para ulama terkait isbal.
Secara ringkas, UAH menjelaskan pemahaman terkait dengan hadis ini dengan tiga hal.
Pertama, menjelaskan ketawadhuan, rendah hati. UAH bercerita bahwa pakaian longgar, termasuk isbal, pada masa nabi itu menunjukkan seseorang yang ingin diketahui derajat strata sosial yang tinggi. Oleh karena itu, sebutnya, bagi laki-laki, seperti raja-raja, pakaiannya selalu menjulur ke bawah. Sedangkan perempuan biasanya perhiasannya banyak, digunakan semua, sehingga ketika jalan terdengar suaranya.
“Silahkan Anda cek, tuh, raja-raja, apa-apa, macam-macem, umumnya pakaiannya akan begitu,” terang UAH.
Saat itu, menurut UAH berdasarkan sebuah hadis, tiba-tiba lewat seorang ingin menunjukkan strata sosialnya, pakaiannya menjulur ke bawah. Rasul pun bersabda, “Orang yang pakaiannya melebihi batas kakinya, tempatnya di neraka.”
Di samping Rasul SAW ada sahabat Abu Bakar yang kurus. Abu Bakar kaget, karena pakaiannya sering melorot hingga melebihi mata kaki. Abu Bakar pun bertanya kepada Rasul terkait hal ini. Menurut Rasul, Abu Bakar tidak termasuk seperti orang tadi.
“Maka ditafsirkan oleh kalangan ulama yang pertama, yang dimaksudkan isbal di sini adalah hadis untuk menjaga diri agar tetap tampil tawadhu,” jelas UAH.
UAH juga menekankan bahwa inti dari hadis tersebut adalah ketawadhuan, melarang kesombongan. Alumni Timur Tengah ini mengatakan bahwa orang yang tidak isbal tapi tetap sombong, tempatnya juga sama, di neraka.
“Jadi kalau antum misalnya, celananya tidak isbal, sombong juga, neraka juga tempatnya. Kadang celananya tidak isbal, tapi mulutnya isbal. ‘Lihat tuh, ah (celananya di) gulung, kayak nggak ada gunting aja di rumahnya.’ tuh neraka juga tuh,” tuturnya.
Kedua, hadis tersebut ingin menjelaskan kehati-hatian saat ibadah. Saat menjelaskan hal ini lah, UAH teringat bahwa ia pernah diberhentikan dua orang karena mereka melihat UAH shalat dengan celana tidak isbal. Menurut UAH mereka berpegang pada hadis ‘Innallah la yaqbalu shalata musbilin, (Allah tidak menerima shalat orang yang celananya kepanjangan)’.
“Perhatikan, hadis ini sering digunakan oleh sebagian orang untuk menunjuk dalil, (mereka bilang), “Tuh kan, shalatnya aja nggak diterima,” tapi orang ini tidak mendalami makna hadisnya,” jelas UAH.
Dalam kisahnya, saat itu ia sedang menjadi imam di Bekasi, setelah beliau mengimami dan mengisi pengajian, ketika akan masuk mobil dan pulang, ia diberhentikan seorang tokoh dan sekretarisnya. Orang ini menguji pengetahuan hadis UAH terkait isbal saat shalat.
UAH pun bertanya kepada dua orang tersebut, “Bukankah Nabi, dalam hadis itu, menyuruh untuk wudhu lagi orang itu?… Pertanyaan saya, kalau yang salah celananya, mengapa disuruh wudhu? harusnya ganti celana.”
Menurut UAH, jika ada masalah dengan celananya yang isbal, harusnya Nabi menyuruh orang tersebut untuk mengganti celananya, namun Rasul tidak melakukannya. UAH berpendapat bahwa yang bermasalah bukan celananya, tetapi cara wudhunya. Itu lah mengapa, setelah orang tersebut wudhu tiga kali, nabi tidak menegurnya lagi.
UAH berpendapat bahwa saat orang tersebut wudhu, kakinya tidak dibasuh dengan sempurna karena celananya tadi, sehingga ia mengulangi wudhunya sampai basuhannya sempurna.
“Ini lah pentingnya belajar hadis dengan mendalami ilmu hadis, lihat asbabul wurudnya,” tambah Ustad Adi Hidayat.
Ketiga, hadis tersebut berkaitan dengan keindahan dan kepantasan dalam berpakaian. Menurut UAH, pada zaman nabi, walaupun ada yang isbal dan tidak isbal, mereka tetap menjaga asas kepantasan dan keindahan dalam berpakaian. Oleh karena itu, Ustadz Adi mengingatkan agar tetap menjaga kepantasan dan etika berpakaian.
“Jangan sampai Anda, saya ingin menjaga agar tidak isbal, masya Allah, besok ke kantor, pakai dasi, pakai jas, masya Allah, pakai kemeja, begitu celana ngatungnya luar biasa ke atas, gitu kan, nggak enak dipandang juga, kan?” terang UAH.
Namun walaupun demikian, menurut UAH, kita tidak boleh mencela orang yang ingin mempraktekkan sikap ketat terhadap dirinya sendiri dalam menggunakan pakaian, tidak ingin isbal. Tetapi juga tidak perlu mencela orang lain yang menurut dia lebih pantas isbal.
“Jangan dipersalahkan, itu pilihan, jangan saling mencela!” tutur UAH. (AN)