Alkisah, pada masa dahulu hidup seorang pemuda bernama Urwah bin Hizam. Dia adalah seorang pemuda yang ditinggal ayahnya saat usianya masih anak-anak. Sejak itulah, Urwah menjadi yatim dan diasuh oleh pamannya yang bernama Uqal bin Muhashir hingga akil baligh.
Urwah bin Hizam berasal dari Bani Udzrah, dan hidup pada masa generasi tabi’in, tepatnya pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada saat usia anak-anak, dia sering bermain dengan perempuan yang bernama Afra’. Mereka berdua pun sering bermain bersama hingga usianya menginjak akil baligh. Kebersamaan mereka berdua sejak kecil hingga dewasa tersebut, ternyata menumbuhkan perasaan nyaman dan saling cinta antara mereka berdua.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Dzammul Hawa, hal tersebut membuat paman Urwah pada suatu waktu berkata kepadanya, “Bergembiralah, sesungguhnya Afra’ akan menjadi isterimu, Insya Allah.”
Ketika Urwah beranjak dewasa, dia pun mendatangi bibinya yang bernama Hindun binti Muhashir. Kepada sang bibi, dia mengadukan perihal rasa cintanya kepada Afra’.
Kepada sang bibi, Urwah pun berkata, “Wahai bibi, sesungguhnya aku ingin berbicara denganmu, namun aku malu kepadamu. Aku terpaksa melakukan ini, karena sudah tidak mampu menahannya lagi.”
Setelah mendengar penjelasan dari keponakannya, sang bibi pun langsung pergi ke saudaranya dan berkata, “Wahai saudaraku, aku datang kepadamu karena suatu keperluan. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan; nikahkanlah Urwah dengan Afra’.”
Mendengar permintaan tersebut, saudara bibinya Urwah justru berkata, “Dia tidak punya harta apa-apa dan dia pun tidak perlu tergesa-gesa.”
Ternyata keluarga Afra’, yaitu sang ibu menginginkan putrinya dinikahi oleh orang yang kaya raya. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan keadaan Urwah bin Hizam, yang tidak punya banyak harta dan tidak kaya raya.
Mendengar perihal keinginan keluarga Afra’ tersebut, Urwah pun mendatangi pamannya. Kepada sang paman, dia berkata, “Kamu telah mengetahui kedekatanku kepadanya. Dan aku mendengar bahwa, ada seorang lelaki yang ingin meminang Afra’, maka apabila dia mendapatkannya, maka aku bisa mati karenanya.”
Sang paman pun langsung berkata, “Aku tidak akan memberikannya kepada selainmu. Namun, ibu Afra’ menginginkan mahar yang mahal. Maka carilah kamu rejeki yang banyak dan berusahalah.”
Mendapat nasehat seperti itu, Urwah kemudian menemui orang tua Afra’. Kepadanya, dia berbicara dan memohon supaya mau menunggu dan tidak mengambil keputusan lain, yaitu menikahkan Afra’ dengan lelaki selain dirinya. Orang tua Afra’ pun menerima dan berjanji untuk melakukan hal itu.
Urwah kemudian pergi untuk mencari cara agar dia mendapatkan banyak rejeki berupa harta. Kali ini dia pergi ke Yaman untuk menemui putra pamannya yang kaya raya. Sesampainya di tempat saudaranya tersebut, Urwah kemudian diberi seratus Unta.
Di tengah usaha Urwah untuk mencari harta supaya bisa meminang Afra’ untuk dijadikan istrinya. Ternyata, orang tua Afra’ justru menyetujui seorang lelaki kaya raya dan banyak harta untuk meminang Afra’. Dan Afra’ pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena ibunya sudah menerimanya dan tidak mengindahkan pendapat dari ayahnya.
Saat menerima lamaran tersebut, sang ibu bahkan sempat berkata, “Telah datang ke pintu kita seseorang yang kaya raya. Dan kita tidak mengetahui apakah Urwah masih hidup atau sudah mati. Apakah dia akan datang membawa harta ataukah tidak.”
Setelah menerima lamaran tersebut, orang tua Afra’ pun menikahkannya. Setelah menikah, Afra’ kemudian dibawa oleh suaminya ke Syam.
Karena sebelumnya sudah berjanji untuk menunggu Urwah, orang tua Afra’ pun berusaha menyembunyikan pinangan dan pernikahan putrinya tersebut. Mereka kemudian membuat sebuah kuburan palsu yang diatasnamakan Afra’. Tujuannya tidak lain adalah untuk merahasiakan pernikahan Afra’, sekaligus mengelabui, jika Urwah datang meminang Afra’.
Ternyata selang beberapa waktu, Urwah benar-benar datang ke rumah orang tua Afra’. Kedatangannya untuk meminang Afra’, ternyata disambut dengan ucapan bela sungkawa atas kematian Afra’, perempuan yang dia cintai dan sayangi, serta yang diperjuangkan untuk dinikahi.
Kabar bohong jika Afra’ meninggal pun langsung membuat Urwah berhari-hari mondar-mandir di kubur bohongan Afra’. Hingga pada akhirnya, dia mengetahui fakta sebenarnya kalau Afra’ telah dinikahkan dengan lelaki lain yang kaya raya.
Hal tersebut pun membuat Urwah galau dan patah hati. Dengan mata menangis dan kondisi tubuh yang menjadi kurus kering setelah berhari-hari mondar-mandir di kuburan palsu. Dia pun pergi menemui keluarganya. Orang-orang yang melihat kondisinya mengatakan, “Urwah terkena sihir.” Sebagian lainnya ada yang mengatakan, “Dia kerasukan Jin.” Dan sebagian yang lain mengatakan, “Dia terkena bisikan jahat.”
Orang-orang pun kemudian membawa Urwah ke berbagai dokter. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengobati sakit yang dideritanyanya. Namun, tidak ada satu pun dokter yang mampu mengobati penyakit yang dideritanya. Yaitu, penyakit patah hati karena cinta. Hingga suatu ketika saat dibawa ke seorang dokter, Urwah berkata, “Penyakit dan obatku hanyalah seseorang yang tinggal di Balqa’. Dia adalah penyakitku dan padanya pula obatku.”
Urwah kemudian kembali datang ke keluarganya, dan berkata kepada mereka, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya ketika aku melihat Afra’ sekali saja, niscaya sakitku akan hilang.”
Dengan diam-diam, keluarganya kemudian membawanya ke Syam. Selama perjalanan pun, dia selalu mengingat Afra’, perempuan yang dia cintai dan sayangi. Di tengah perjalanan, Urwah sempat mampir ke kediaman seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Lelaki tersebut adalah sosok yang dermawan, terpandang, banyak harta, dan banyak mempunyai tamu serta perkumpulan. Ternyata, lelaki tersebut adalah suami Afra’. Dia menyambut Urwah begitu baik, hingga akhirnya Afra’ pun mengetahui kedatangan Urwah bin Hizam.
Tak lama setelah itu, datanglah seorang lelaki yang berkata kepada suami Afra’, “Kalian membiarkan lelaki ini di rumah kalian untuk mempermalukan kalian?”
Mendengar ucapan tersebut, suami Afra’ mengingkarinya. Dia kemudian mendatangkan Urwah, dan berkata, “Jangan kamu usik siapa yang ada di dalam rumahku.” Dia kemudian keluar dan pergi meninggalkan Afra’ bersama dengan Urwah. Kepada penjaga pintu rumahnya, dia berpesan supaya mengawasi apa yang mereka berdua katakan.
Dalam pertemuan tersebut, Urwah berkata kepada Afra’, “Lelaki ini adalah orang baik. Dan aku tidak akan tinggal setelah mengetahuinya. Sesungguhnya aku akan pergi menuju kematianku.” Urwah pun meninggalkan tempat dimana Afra’ hidup bersama suaminya. Namun, selepas pertemuan tersebut dia kembali sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Cinta memang bisa membuat orang menjadi bahagia, sekaligus tersiksa karenanya. Namun jika cinta tersebut sudah tercampur dengan hawa nafsu, yang terjadi adalah begitu tersiksanya jiwa manusia. Karena adanya keinginan bahwa, apa yang dicinta harus dimiliki. Padahal tidak semua yang dicinta bisa dimiliki seutuhnya.
Tuhan terkadang memang hanya mempertemukan, namun tidak menyatukan dalam ikatan pernikahan. Betapa banyak orang yang menikah, namun tidak semua dari mereka yang menikah berawal dari saling mencintai. Karena ada juga yang menikah karena pilihan orang tua, atau menikah dengan mereka yang berharta, dan lain sebagainya.
Setidaknya, setiap hubungan asmara, baik itu yang direstui maupun yang tidak direstui, selalu membawa hikmah dan pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Sebab manusia hanya bisa berusaha, namun Tuhan lah yang tetap Maha Kuasa, termasuk dalam mengatur hubungan asmara para hamba-Nya.
Akan tetapi, salah satu hal terindah dan anugerah luar biasa dari Tuhan dalam kehidupan umat manusia yang berkaitan dengan asmara, adalah disatukannya dua jiwa yang saling mencintai dalam ikatan suci yang bernama pernikahan. Sebab, obatnya cinta adalah menikah.