Jika anda pernah mendengar kebiasaan membaca orang-orang Jepang yang begitu luar biasa. Dimana-mana selalu menenteng dan membawa buku. Jangan terburu-buru untuk berdecak kagum. Tentu itu adalah hal yang hebat, namun jika anda melihat sejarah para ulama Islam terdahulu rupanya hal tersebut juga sudah biasa. Buku dan perjalanan adalah dua idiom yang seiring dan bersandingan.
Apalagi kalau melihat akses terhadap buku di awal-awal abad hijriyah yang masih sangat sulit, tentu kebiasaan yang dilakukan oleh para ulama membawa buku dalam perjalannya sungguh luar biasa. Tak heran kemudian jika, produk intelektual pada zaman itu sudah melampaui zamannya bahkan masih terus eksis dan dikaji hingga sekarang. Berikut beberapa ulama yang pernah tercatat dalam sejarah selalu membawa buku dalam setiap perjalanannya.
Ishaq bin Ibrahim bin Maimun al-Maushili (w. 850 M)
ia terkenal sebagai musisi kerajaan. Tercatat ia pernah menjadi penyair dan pemusik khusus beberapa dinasti kekuasaan. Mulai dari zaman Harun al-rasyid, al-Ma’mun, Al-Mu’tashim hingga al-Watsiq. Sekalipun ia berprofesi sebagai seniman, sebenarnya dalam diri Ishaq al-Mushili terdapat pribadi yang sangat alim. Akan tetapi kemasyhurannya di bidang musik membuatnya lebih dikenal sebagai musisi. Bahkan konon ia merupakan sosok pencetus notasi nada sebelum Guido Arezzo menelurkan notasi Guido’s Handnya. Kealimannya itu sempat diakui oleh Abul Faraj al-Ashfihani (w. 356 H/967 M) pakar musik Arab klasik penulis kitab al-Aghaniy:
كان الغناء أصغر علوم إسحاق وأدنى ما يوسم به، وإن كان الغالب عليه وعلى ما يحسنه. هو الذي صحّح أجناس الغناء
“Ilmu permusikan yang ia kuasai itu hanya sekian kecil dari kemampuan ilmu lain yang telah ia kuasai. Meskipun kemampuan bermusik itulah yang dominan dan menguasai, karena dialah yang mengoreksi genre musik saat itu”
Khalifah Al-Ma’mun pun memberi kesaksian serupa:
لولا اشتهار إسحاق بالغناء لَوَلّيتُه القضاء، لما أعلم من عفّته ونزاهته وأمانته
“Jika bukan karena ia sudah dikenal banyak orang sebagai musisi, pasti sudah aku lantik menjadi qadhi. Karena saya tahu sendiri bagaimana harga diri, integritas serta kejujurannya”
Hal tersebut tidaklah berlebihan. Memang pada dasarnya kepribadian Ishaq al-Maushili memang tercermin dari kebiasaan yang selalu tidak terpisah dengan buku. Bahkan suatu ketika Imam al-Ashmui sedang keluar bersama Khalifah Harun al-Rasyid ke suatu tempat, ia tidak sengaja bertemu dengan Ishaq al-Maushili. Iseng, al-Ashmui kemudian bertanya kepada salah satu muridnya tersebut:
“Kalau sedang keluar begini, apakah kamu masih membawa bukumu?”
“Iya guru, tapi aku hanya membawa sedikit”
“Sedikit? berapa memangnya?” lanjutnya mengejar.
“18 keranjang saja” Jawab Ishaq al-Maushili sambil tersenyum tipis.
Agak terkejut dengan jawaban sang murid al-Ashmui terus mengejarnya.
“Kalau itu kamu bilang sedikit, la kalau yang banyak seberapa?”
“Ya berkali-kali lipat hehehe”
Kisah ini diabadikan Shalahuddin al-Shafadi dalam al-Wafi bil Wafiyyat. juz 8 halaman 253
Majduddin Fairuzabadi
Ulama satu ini merupakan salah satu pakar bahasa sekaligus leksikografer bahasa Arab. Salah satu karyanya; Qamus al-Muhith hingga kini masih terus dipakai sebagai pedoman. Bahkan dalam perkembangannya kamus Muhith ini juga menjadi rujukan atas penyusunan kamus bahasa arab pada era-era setelahnya.
Keseriusannya dalam pengembangan pengetahuan memang sudah menjadi watak dan kepribadiannya. Semenjak muda ia telah dikenal sebagai seorang penuntut ilmu yang tak kenal lelah. Dalam catatan Imam Suyuthi dalam kitab Bughyatul Wu’ah fi Thabaqat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat ia dikategorikan dalam jajaran ulama pakar bahasa yang melegenda. As-Suyuthi juga mencatat salah satu kebiasaannya ketika sedang menempuh perjalanan:
مَا كنت أَنَام حَتَّى أحفظ مِائَتي سطر. وَلَا يُسَافر إِلَّا وصحبته عدَّة أحمال من الْكتب، وَيخرج أَكْثَرهَا فِي كل منزلَة ينظر فِيهَا وَيُعِيدهَا إِذا رَحل،
“Ia tidak akan tidur sebelum menghafal 200 halaman. Ia juga ketika bepergian selalu membawa banyak sekali buku dan kitab. Ketika berhenti di suatu tempat ia akan mengeluarkan semua bekal kitabnya tersebut. Ketika hendak berangkat, ia kemasi kembali kitab tersebut”
(AN)