Kisah Tri Indah Annisa, Tetap Kampanyekan Moderasi Beragama di Medsos Meski Suami Tak Setuju

Kisah Tri Indah Annisa, Tetap Kampanyekan Moderasi Beragama di Medsos Meski Suami Tak Setuju

Kisah Tri Indah Annisa, Tetap Kampanyekan Moderasi Beragama di Medsos Meski Suami Tak Setuju

Seorang perempuan pengendara ojek online beristirahat di depan sebuah minimarket. Sembari menunggu orderan masuk, ia berteduh dari teriknya matahari pagi menjelang siang yang menyelimuti wilayah Kecamatan Sawangan, Kota Depok.

Tak jauh dari situ, nampak seorang perempuan berdiri menggendong bayinya di depan kedai minuman. Ia baru saja turun dari motornya. Namanya Tri Indah Annisa, perempuan yang hendak saya temui.

Kak Indah, sapaan akrabnya, adalah seorang ibu tiga anak, kreator konten, dan dosen di perguruan tinggi swasta. Ia juga gemar menulis. Empat karya tulisnya telah diterbitkan dalam bentuk buku.

“Tentang isu toleransi, sebenarnya itu tidak terlepas dari latar pendidikan saya,” ia mengawali obrolan setelah memperkenalkan diri. Pagi itu, saya memintanya untuk berbagi pengalaman menjadi kreator konten yang mengampanyekan nilai-nilai moderasi beragama.

Kak Indah adalah seorang sarjana dari Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga meraih gelar Magister dari jurusan yang sama. Sejak duduk di bangku kuliah itulah ia sudah berkenalan dengan isu-isu toleransi, moderasi beragama, serta hubungan antar agama.

Perjalanan Menjadi Kreator Konten

Pagi itu, Saya dan Kak Indah berbincang di meja bundar kecil di dalam kedai minuman. Tiga anaknya juga bergabung bersama kami. Kak Indah bercerita sembari mengawasi gerak-gerik anaknya.

“Saya mendirikan sebuah platform yang bernama ‘@studiagama.id’. Sebuah platform yang saya gunakan untuk mengampanyekan isu-isu kerukunan umat beragama, moderasi beragama, toleransi, maupun menyuarakan hak-hak minoritas yang ada di Indonesia,” terangnya.

Ia terdorong untuk mendirikan platform tersebut karena ia memandang bahwa kerukunan, perdamaian, dan toleransi, adalah sesuatu yang harus diusahakan. Semua itu tidak muncul dengan sendirinya.

“Platform itu sebenarnya saya buat setelah saya lulus S2, tahun 2021,” tuturnya.

Sebelum lulus dan mendirikan platform, perempuan berdarah Betawi ini senang mengikuti kegiatan kerelawanan yang berhubungan dengan isu-isu kerukunan, perdamaian, dan toleransi.

Dari sana, ia merasa bahwa isu-isu tersebut perlu diketahui tidak hanya oleh dirinya sendiri, melainkan juga semua orang. Oleh karena itu, ia terdorong untuk mengampanyekannya dan memilih media sosial sebagai sarana untuk melakukannya.

“Banyak yang bilang, emang akan bermanfaat? Kita nggak tahu konten yang mana yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, kita mulai dulu nih. Buat platformnya, buat konten semenarik mungkin,” jelasnya.

Selama perjalanan mengembangkan platform ‘@studiagama.id’, Kak Indah telah berkolaborasi dengan banyak pihak. Dan kolaborasi yang paling berkesan baginya adalah ketika ia berhasil mengundang Menteri Agama RI Periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjadi narasumber Live Instagram pada 2023 silam.

Momen tersebut sangat berkesan di benaknya sekaligus menjadi penyemangat baginya untuk terus menyuarakan isu-isu moderasi beragama, toleransi, kerukunan, dan perdamaian di Indonesia. Perlahan tapi pasti, ia berhasil menggaet anak-anak muda lain untuk ikut terlibat dalam menyuarakan isu-isu tersebut.

Berjumpa Dengan Fakta yang Memilukan

Suara gemerincing terdengar dari kotak es batu saat barista kedai minuman sedang menyiapkan pesanan pembeli yang datang. Namun, itu tidak mengurangi semangat Kak Indah untuk berbagi pengalaman.

Ia bercerita, sewaktu menempuh jenjang pendidikan Strata-1 (S1), dirinya pernah melihat langsung kasus intoleransi akibat pemahaman agama yang tidak moderat. Tepatnya adalah peristiwa penolakan pendirian rumah ibadah paroki Katolik Santa Clara, Bekasi Utara, Kota Bekasi.

“Itu banyak pendemo di sana menolak pendirian rumah ibadah tersebut. padahal secara undang-undang mereka itu dilindungi untuk mendirikan rumah ibadah,” beber perempuan kelahiran Bekasi ini.

Selain kasus intoleransi, Kak Indah juga mendengar kisah pilu dari teman-temannya yang menjadi penghayat kepercayaan. Mereka kesulitan mencantumkan kepercayaan yang dianut pada kolom agama yang ada di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Lalu, ada teman-teman saya. Dia penghayat. Dia tidak mencantumkan agama sendiri. Dia penghayat Kaharingan, dia sampai masuk ke agama Hindu,” ulasnya.

Maraknya kasus intoleransi dan hak-hak minoritas yang sering tidak dipenuhi ini menjadi pendorong bagi Kak Indah untuk terus mengampanyekan isu-isu tersebut.

Ia bertekad untuk terus melakukannya karena baginya, sekalipun Indonesia dianggap sebagai kiblat kerukunan antar umat beragama, konflik-konflik di akar rumput masih kerap melanda.

Ketidaksetujuan Suami Jadi Motivasi

Di tengah obrolan, Bayi Kak Indah merengek, sehingga ia harus berdiri untuk menenangkannya. Ia melakukannya sembari tetap melanjutkan cerita tentang perjalanan dirinya jatuh-bangun menjadi kreator konten.

“Sebenarnya, ‘@studiagama.id’ sejak awal sudah menghadapi tantangan tersendiri. Ada stigma bahwa, ‘jangan belajar studi agama karena nanti keimananmu terancam’,” ungkapnya.

Kak Indah terpacu untuk merobohkan stigma tersebut. Selain mendirikan platform ‘@studiagama.id’, cara lain yang ia tempuh adalah dengan menulis buku yang berjudul ‘Belajar Asik Keilmuan Studi Agama’.

“Itu sebagai reaksi bahwa belajar studi agama tidak se-menyeramkan yang banyak orang pikir,” katanya.

Melalui platform dan buku itu pula, ia ingin menunjukkan bahwa mempelajari agama lain tidak akan berdampak negatif. Sebaliknya, mempelajari agama lain justru akan berdampak positif. Seseorang akan lebih bisa mengerti, memahami, hingga menghormati agama lain ketika mempelajarinya.

Akan tetapi, tantangan itu tidak seberapa bagi Kak Indah karena ada tantangan lain yang lebih besar. Suaminya tidak sepenuhnya menyetujui aktivitasnya sebagai kreator konten yang melakukan edukasi dan kampanye di media sosial.

“Walaupun suami saya tidak 100 persen menyetujuinya, tapi saya sebagai perempuan berpegang teguh pada keyakinan bahwa hal yang saya lakukan ini baik dan benar,” paparnya.

Namun, karena merasa bahwa mengampanyekan moderasi beragama, perdamaian, kerukunan, toleransi, hingga hak-hak minoritas adalah sebuah panggilan jiwa, Kak Indah tidak berhenti.

“Itu adalah bagian dari panggilan jiwa sebagai lulusan studi agama, yang membuat saya menjadi manusia yang inklusif, toleran, dan moderat,” ujarnya.

Ia menegaskan, “Saya sebagai perempuan, walaupun sudah bergelar ibu, sudah bergelar istri, perempuan harus memegang teguh impiannya, harus berpegang teguh pada dirinya sendiri.”

Beruntung, lambat laun suaminya mulai bisa memahami bahwa aktivitas istrinya adalah aktivitas yang baik. Apalagi sang istri tidak pernah melalaikan tugas sebagai seorang ibu maupun istri di samping tetap berjuang mengampanyekan moderasi beragama, toleransi, perdamaian, hingga hak-hak minoritas.

(AN)