Kisah Tiga Belas Ahli Ibadah dan Sungai yang Bisa Bicara

Kisah Tiga Belas Ahli Ibadah dan Sungai yang Bisa Bicara

Kisah Tiga Belas Ahli Ibadah dan Sungai yang Bisa Bicara

Setelah berzina dengan seorang perempuan, Fulan (sebut saja demikian), pergi ke sungai untuk mandi. Tanpa ia duga, ternyata sungai tersebut bisa berbicara. Ia menegur Fulan, “Hai Fulan, mengapa kamu tidak segera bertaubat atas dosa yang baru saja kamu lakukan?”.

Fulan kaget. Ia segera mentas dan beriktikad untuk tidak lagi bermaksiat kepada Allah SWT. Sejurus kemudian, ia pergi ke sebuah bukit untuk menyepi dan beribadah. Ternyata, di sana sudah ada dua belas orang yang sedang beribadah.

Setelah beberapa waktu, lama kelamaan bukit itu mengalami kekeringan, sehingga tak lagi bisa menumbuhkan tanaman yang bisa dikonsumsi. Fulan dan keduabelas kawannya akhirnya bertekad untuk berpindah tempat yang lebih layak. Mereka turun dari bukit.

Dalam perjalanannya, mereka akan melewati sungai tempat Fulan mandi. Mengetahui hal itu, Fulan tak mau ikut melanjutkan perjalanan. Kawan-kawannya heran dengan sikap Fulan yang serba tiba-tiba itu. Setelah ditanyai, Fulan pun buka suara.

“Saya merasa malu. Di sungai itu, ada orang yang mengetahui masa laluku yang kelam dan penuh dosa,” kata Fulan menjelaskan.

Kawan-kawannya memaklumi. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa Fulan. Ketika melewati sungai tersebut, tenyata sungai tersebut juga berbicara kepada mereka, “Wahai kalian, apa yang sebenarnya dilakukan kawan kalian itu sehingga ia tidak ikut dalam perjalanan ini?”

Mereka menginformasikan keadaan dan apa yang dirasakan Fulan. Sungai itu menimpali, “Seorang ayah memang akan marah kepada anaknya melakukan kesalahan. Namun, jika anak tersebut bertaubat dan mengikuti nasihat ayahnya, maka sang ayah akan berbalik nenyayangi anak tersebut”.

Kalimat ini adalah analogi. Sejurus kemudian, sungai itu pun mengatakan bahwa demikianlah keadaan Fulan. Dulu, memang ia berbuat dosa dan karenanya sungai tersebut marah. Namun, kini, setelah Fulan bertaubat, maka sungai tersebut mencintai dan menyayangi Fulan.

“Saya minta tolong, beritahu Fulan tentang hal ini!,” katanya memohon bantuan.

Fulan dikabari. Akhirnya, ia mau ikut melanjutkan perjalanan. Tak hanya itu, bahkan mereka juga memutuskan untuk tinggal di dekat sungai tersebut. Hingga, bebebrapa saat kemudian, Fulan meninggal dunia.

Sungai tersebut menawarkan bantuan, Ia meminta agar Fulan dimandikan dengan air darinya dan dikebumikan di tepi sungai. “Agar kelak, ketika dibangkitkan kembali, Fulan berada di dekatku,” kata sungai itu memberi alasan.

Setelah pemakaman selesai, mereka mengatur rencana. Mereka akan melanjutkan perjalanan esok hari. Malam itu adalah malam terakhir mereka tinggal di dekat sungai. Namun, keesokan paginya, hal aneh terjadi lagi. Mereka melihat ada dua belas pohon cemara tumbuh di atas kuburan si Fulan.

Tumbuhnya dua belas pohon itu, menurut mereka, adalah tanda bahwa Allah meridai apa yang mereka kerjakan. Mereka memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Seiring berjalannya waktu, mereka pun meninggal satu persatu dan dikebumikan di tepi sungai itu, di samping makam temannya.

Kisah yang penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi ini mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah tentang pentingnya mencintai dan membenci hanya karena Allah. Hal ini bisa dilihat dari sikap si sungai tersebut dimana awalnya membenci Fulan namun kemudian mencintainya.

Fulan dibenci dan dicintai bukan karena sosoknya, melainkan perbuatannya. Cinta dan benci seseorang kepada seseorang yang lain, jika dilandasi karena Allah (bukan nafsu), maka akan berakhir indah. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.