Muhammad bin ‘Abid bercerita, suatu hari al-A’masy kedatangan seorang tamu, pemuda. Dari penampilannya, sang pemuda terlihat orang yang sangat gagah perkasa. Tak hanya itu, ia juga memiliki jenggot yang tebal sekali. Suatu penampilan yang menunjukkan bahwa pemakai pakaian itu adalah seorang ulama papan atas.
Maksud kedatangannya adalah untuk bertanya kepada al-A’masy tentang suatu hukum. Ternyata apa yang ditanyakannnya tak sebanding dengan apa yang dipakainya. Ia hanya bertanya masalah sepele terkait ibadah shalat.
Siluet di atas itu terdapat dalam kitab Hayat al-Salaf karya Ahmad bin Nashir al-Thayyar, yang dikutip oleh penulisnya dari kitab al-Sayr Tahdzibih. Lewat kisah tersebut kita bisa membaca bahwa pakaian bukanlah sebuah ukuran untuk menentukan kualitas keilmuan seseorang. Pakaian hanyalah penampilan zahir yang kadang berbeda dengan apa yang sebenarnya ada di dalam batin pemakainya.
Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha pernah bercerita bahwa Mbah Moen (KH. Maimoen Zubair) tidak mengizinkan santrinya menggunakan peci putih. Pasalnya, di daerah Sarang, Jawa Tengah, pakaian itu adalah pakaian khas yang dipakai oleh orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Sehingga, santri yang belum berhaji tak pantas memakainya.
Ini dilakukan untuk menjaga perasaan orang-orang yang sudah haji. Bagaimana tidak, untuk memakai peci putih itu, masyarakat umum harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (untuk menunaikan ibadah haji), lha, ini santri tanpa modal apapun, langsung pakai.
Prof. Ali Mustafa Yaqub pada salah satu tulisan dalam buku “Hadis-hadis Bermasalah” mengkritik mereka yang memakai sorban namun prilakunya tak mencerminkan sifat-sifat keulamaan.
Menurutnya, memakai sorban adalah salah satu sunnah nabi Muhammad Saw. Dan dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara, sorban dianggap sebagai toga keulamaan. Sehingga, siapa yang memakainya seolah-olah telah diresmikan menjadi seorang ulama.
Dari sini, jelas bagi kita bahwa hendaknya pakaian yang dipakai sesuai dengan kualitasnya pemakainya. Jangan sampai mengenakan pakaian yang dapat menimbulkan masyarakat salah paham.
“Pakaian yang saya pakai ini adalah bentuk kami mengikuti Nabi atau ulama”
Mungkin kalimat di atas akan digunakan oleh sebagian orang sebagai jurus bela diri. Iya, tak masalah. Namun, hendaknya jangan berhenti di sana. Prof. Mustafa Yaqub memberikan jawaban bahwa hendaknya jangan berhenti sampai di situ.
Adalah benar memakai sorban (dan pakaian keulamaan lainnya) dilakukan untuk mengikuti sunnah Nabi, namun mengikuti Nabi jangan sepotong-sepotong. Hendaknya, setelah memakai sorban, diikuti dengan meniru Nabi dari sisi sifatnya.
“Kami hanya bisa mengikuti Nabi dari sisi pakaiannya saja”
Boleh-boleh saja demikian kalau memang hanya mampu sampai segitu. Namun harus dengan hati-hatian, karena apa yang dilakukan itu rawan bisa menipu masyarakat. Jangan sampai dianggap sebagai ulama padahal kelimuan belum mumpuni.
Al-A’masy saja hampir terkecoh dengan dandanan pemuda yang datang kepadanya itu. Dikiranya ia adalah seorang ulama papan atas, padahal kenyataannya bukan sama sekali.
Ia berkata kepada Muhammad bin ‘Abid (penutur kisah ini), “Lihatlah pemuda itu! Jenggotnya saja seakan bisa mengahafal sempat ribu hadis. Namun masalah yang ditanyakan seperti pertanyaan penulis amatiran”
(Kalimat di atas dalam konteks kita kira-kira jadinya begini, “Lihatlah pemuda itu! Penampilannya saja mirip ulama. Padahal keilmuannya nol”)
Lalu, harus bagaimana? Kita harus pandai-pandai mengukur diri dan pintar memilih pakaian agar jangan sampai apa yang kita pakai menimbulkan salah persepsi di masyarakat. Orang Jawa bilang, “ngono yo ngono, neng ojo ngono” (begitu ya begitu, namun jangan begitu).