Kisah ini adalah satu bagian dari kisah yang dituturkan oleh Syaikh Abdul Karim al-Qusyairi dalam risalah beliau yang paling saya ingat. Kisah yang luar biasa menurut saya. Ketika seseorang rela menempuh jarak pulang pergi sekitar 700 km demi dua ekor semut. Bukan dengan mobil. Wallahu a’lam, memakai kendaraan mayoritas saat itu, atau bahkan berjalan kaki. kisah sufi
Dalam teori fikih, bagi kita yang telanjur mengerti, mungkin akan memanfaatkan pendapat yang memperbolehkan dan meringankan. Tidak masalah, membawa dua ekor semut keluar dari habitat mereka. Namun sulit dijelaskan tentunya. Dan sulit dimengerti, kecuali memang kita mampu memahami dengan baik apa maksud kaul “hasanatul abrar, sayyi’atul muqarrabin“.
Adalah Syaikh Abu Yazid al-Busthami. Saya mengutip manaqib beliau sedikit dari Thabaqatus Shufiyyah, buah tangan Syaikh Abu Abdurrahman as-Sulami.
Nama beliau adalah Syekh Thaifur. Beliau baru mendapat julukan Abu Yazid setelah memiliki putra bernama Yazid. Beliau memiliki dua saudara. Keluarga beliau adalah keluarga yang saleh, zuhud, dan ahli ibadah. Beliau lahir dan tinggal di kota Bistam, sekarang masuk wilayah administrasi provinsi Semnan, Iran.
Bila disebut nama Syaikh Abu Yazid al-Busthami, maka akan merujuk kepada Syaikh Thaifur ini. Meski ada seorang lain yang bernama mirip. Syaikh Abu Yazid al-Busthami al-Ashghar. Saya tidak begitu tahu tentang nama yang disebut terakhir ini.
Beliau wafat tahun 261 H. Bertepatan sekitar tahun 875 M. Namun ada yang mengatakan 234 H. Masih era yang sangat awal. Beberapa saat setelah pondasi madzhab fikih berkembang, era kodifikasi, era ketika gencar perdebatan fikih dan akidah.
Dalam risalah al-Qusyairi dikisahkan, suatu ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami pergi ke kota Hamedan. Sebuah kota di barat laut Iran. Syaikh Abu Yazid al-Busthami sendiri menetap di kota Bistam. Jika kita mengukur menggunakan peta satelit saat ini, jaraknya sekitar 700 km. Jarak itu hampir sama jauhnya seperti saat kita menempuh Jakarta ke Surabaya. Hari ini kita tidak akan merasa penat menempuh jarak sejauh itu. Karena sudah ada pesawat dan jalan tol. Tapi bayangkan, jika harus menempuhnya menunggangi kuda, keledai, atau unta, bahkan berjalan kaki. Membayangkan terjebak macet di kota metropolitan saja sudah melelahkan.
Di kota nun jauh tersebut, Syaikh Abu Yazid al-Busthami membeli keperluan. Termasuk yang beliau beli adalah buah kesumba (القرطم). Buah ini berasal dari daerah Mediterania. Bentuknya seperti rambutan. Setahu saya biasa digunakan sebagai tanaman obat.
Setelah selesai dengan keperluan beliau di kota tersebut, beliau lantas pulang kembali ke tanah kelahiran beliau. Beliau memang dikenal sebagai tokoh sufi yang selalu menetap di kota asal beliau. Namun alangkah kagetnya saat beliau memeriksa kembali barang yang beliau beli. Ternyata ada dua ekor semut yang ikut terbawa. kisah sufi
Tentu saja, meskipun semut, tapi semut juga makhluk hidup yang punya keluarga. Punya koloni sendiri. Punya sarang sendiri. Punya habitat sendiri. Maka, beliau merasa bersalah dengan membawa kedua makhluk kecil itu keluar dari tempat asal mereka. Mungkin seperti saat kita melihat seekor anak ayam yang dipisahkan dari induknya. Berdasarkan naluri alam, anak ayam itu akan berteriak-teriak mencari induknya.
Maka beliau segera berkemas. Untuk kembali lagi ke kota Hamedan. Jarak ratusan kilometer beliau tempuh, demi mengembalikan dua ekor semut kembali ke rumah mereka. Subhanallah.
Mungkin sedikit kita bisa pahami alurnya, ketika kita membaca paragraf selanjutnya dalam Risalah Qusyairiyyah tersebut, terdapat kisah tentang Syaikh Ibrahim bin Adham. Ulama sufi yang lebih senior, dan lebih dahulu masanya, lebih hebat lagi kisahnya.
Singkat saja, suatu ketika beliau berada di tanah suci Palestina. Mendengar percakapan dua malaikat yang “menggunjing” beliau. Kedua makhluk mulia tersebut mengatakan bahwa Syaikh Ibrahim bin Adham pernah membeli kurma di Bashrah, Iraq. Dan tanpa sengaja ada biji kurma yang tidak dibeli, tapi ikut nyemplung dan menggelinding ke keranjang bawaan Syaikh Ibrahim bin Adham.
Syaikh Ibrahim bin Adham pula tidak lantas mengembalikan biji kurma tersebut. Entah karena mungkin tidak tahu, atau kenapa, Wallahu a’lam. Ternyata hal itu, walaupun secara teori fikih tidak berdosa, karena termasuk barang remeh, namun menurut penuturan kedua malaikat tersebut, menyebabkan derajat beliau dikurangi.
Mengetahui hal itu, Syaikh Ibrahim bin Adham menyempatkan diri kembali ke kota Bashrah. Melacak kembali lelaki pedagang sayur yang dulu dia beli kurmanya. Dan mengembalikan kurma tersebut. Lalu pulang lagi ke Palestina.
Saat di Palestina, dua malaikat yang dulu “menggunjing” Syaikh Ibrahim bin Adham kembali muncul. Dan mengatakan bahwa derajat beliau sudah dikembalikan. Bahkan ditambah. Hingga lebih tinggi dari sebelumnya.
Rahasianya, peristiwa tersebut, selain dalam rangka mengembalikan “hak” kepada empunya, juga termasuk bisa mengangkat derajat seseorang. Maka hal itu perlu dilakukan. Hasanatul abrar, sayyi’atul muqarrabin.
Tahu berapa jarak antara Palestina ke Bashrah? Jaraknya sekitar 1.500 Km. Artinya, beliau rela menempuh jarak 3.000 Km pulang pergi! Sungguh hebat tekad dan teladan yang diberikan oleh generasi salafus salih. kisah sufi
Sungguh hal tersebut mengingatkan saya pada kisah-kisah lain yang tidak kalah hebatnya. Kita mungkin akan takjub mendengarnya. Hampir sama, dalam Tarikh Baghdadi, Syaikh Abdullah bin Mubarak, yang juga termasuk ulama senior. Pernah meminjam pena dari seseorang di Syam, sekarang masuk wilayah Damaskus, Suriah. Tapi tak sengaja pena tersebut terbawa pulang. Beliau, lantas kembali ke Damaskus untuk mengembalikan pena tersebut. kisah sufi
Tahu dimana rumah Syaikh Abdullah bin Mubarak? Rumah beliau waktu itu ada di Merv. Kita menyebut tempat itu sekarang Turkmenistan. Tebak jarak Turkmenistan ke Damaskus. Jaraknya sekitar 3.000 Km. Artinya beliau menempuh jarak 6.000 Km pulang pergi demi mengembalikan sebuah pena. Cobalah bandingkan, jarak Sabang sampai Merauke saja “cuma” sekitar 5.200 km. (AN)
Wallahu a’lam.