Ali Al Mansur, seorang sufi di Khurasan, pagi pagi terlihat sedang membakar Quran. Tetangganya marah. Kesal. Orang orang yg lewat depan rumah sang sufi geleng geleng kepala. Gondok.
Tapi mereka tak berani menegur Al Mansur. Mereka tahu Al Mansur adalah seorang yg fakih dan wara’. Ia seorang ulama yg menjadi rujukan para imam.
“Syekh, kenapa membakar Quran? Bukankah di dalamnya ada kalimat tauhid dan asmaul husna?” Tanya Ibnul Hakam salah seorang muridnya.
“Muridku, kau benar. Tapi bagiku tulisan kalimat tauhid dan asmaul husna itu tak ada artinya ketimbang ceceran darah dari orang orang muslim yg terbunuh dalam peperangan. Kedua pasukan yg berperang, membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid dan simbol simbol Islam yang lain. Hasilnya apa? Keduanya hancur. Saling membunuh.”
“Syekh, bukankah Allah itu Maha Suci dan Maha Besar.”
“Betul, muridku. Tapi Kemahasucian dan Kemahabesaran itu tidak terletak pada kitab Quran.”
“Lalu terletak di mana Syaikh?”
Al Hakam makin bingung memahami tingkah gurunya.
“Kemahasucian dan Kemahabesaran itu terletak pada hakikat manusia, ” ucap Al Mansur.
“Bukankah manusia itu ciptaan Allah?”
“Betul. Manusia ciptaan Allah. Tapi manusia adalah makhluk Allah termulia di seluruh jagad. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Manusia adalah simbol Allah yg hidup dan paling hakiki. Bukan bendera dan ayat kitab suci.”
“Syekh. Bagaimana aku bisa memahami semua itu.”
“Hormati manusia. Cintai manusia. Aku membakar kitab suci karena kitab Quran telah jadi alasan orang membakar dan membunuh manusia.”
Al Hakam mulai mengerti sikap gurunya. Ia pun terdiam. Pikirannya melayang ke sikap Al Hallaj, sufi besar yg sering diceritakan sang guru ttg keunikan sikapnya.
Setiap melihat apa pun, Al Hallaj berseru itulah Tuhanku. Bagi Al Hallaj, Tuhan ada di mana mana. Ada dalam nafas dan darah manusia.
Bahkan ada pada daun yg terbang terbawa angin gurun.
“Muridku, sampaikan kepada manusia , Allah sangat menyintai manusia lebih dari apapun. Bahkan lebih dari malaikat dan kitab suci agama apa pun. Allah itu sakit bila manusia tak bersalah disakiti. Allah itu lapar bila orang miskin kelaparan. Allah ingin menunjukkan sifat Kasih dan SayangNya melalui manusia. Itulah sebabnya Allah memberikan sorga kepada pelacur yg memberi minum anjing yg kehausan di padang pasir. Karena pelacur itu mewakili Tuhan.”
Asap dari Quran yg terbakar terus mengepul. Tapi Al Mansur tak juga berhenti membakarnya. Orang orang pun makin banyak mengerumuni tingkah aneh sang sufi sambil mengucapkan sumpah serapah.
“Kalian jangan salahkan aku. Aku akan membakar semua kitab Quran milikku sampai kalian menjadikan esensi Quran, Bismillahirrahmanirrahim, sifat kasih sayang Allah, sebagai nafas hidup keseharianmu.”
Mereka yang marah terdiam. Tenggorokanya tersekat. Lalu pergi sambil membaca istighfar berkali kali. “Shadaqta ya mursyid,” celetuknya.