Tanggal 27 Maret 922, vonis mati atas al-Hallaj dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Suaranya memenuhi udara di sekitarnya. Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam hadir menjadi saksi. Para ahli Fiqih literalis ketat dan para hakim yang memvonis mati berdiri paling depan.
Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Antara lain, untuk menyebut beberapa saja, Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Bakar al-Syibli (w. 334) dan Ibrahim ibn Fatik. Nama terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani al-Hallaj di penjara.
Tak jelas bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Yang populer adalah bahwa dia dipenggal lehernya, sesudah mati digantungan. Beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, al-Hallaj berdiri tegak dan dengan riang, seperti akan bertemu Kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi dan kembali kepada Tuhan.
Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul.
Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu.
Oh Tuhan, ampuni dan kasihi mereka.
Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku.
Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari wajah-wajah mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini.
Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.
Setelah itu dia bergumam lirih:
اقتلونى يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات
Bunuhlah aku, O, Kekasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh
Suasana senyap. Al-Hallaj diam. Abu al-Harits al-Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh, mendekati al-Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga darah hidung mengaliri jubahnya.
Al-Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan,
الهى اصبحت فى دار الرغائب أنظر الى العجائب.
“Tuhanku, kini aku telah berada di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan”.
Al-Hallaj segera naik kursi yang di atasnya sudah dipasang tali yang akan menjerat lehernya. Ia lalu memasukkan kepalanya ke lingkar tali itu. Segera sesudah itu kursi ditarik, dan al-Hallaj terkulai. Si algojo segera mengayunkan pedangnya dan menebas leher al-Hallaj. Tubuh itu lalu dimutilasi dan dibakar sampai jadi abu. Dan ditebarkan di sungai Tigris.