Dalam beberapa pekan terakhir, publik dan media-media di Inggris dihentak oleh kisah Shamima Begum, perempuan muda yang lebih empat tahun terakhir, pergi ke Syiria untuk bergabung dengan laskar ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Usianya masih muda, 15 tahun, ketika ia tertarik bergabung dengan ISIS, hingga nekat meninggalkan keluarganya pada akhir 2014 lalu, menuju zona perang di Syiria.
Bersama kedua teman perempuannya, Amira Abase dan Kadiza Sultana, Begum terbang menuju Turki untuk kemudian bergabung dengan jaringan ISIS. Shamima Begum lahir di Inggris, keturunan keluarga Bangladesh. Orang tua Shamima Begum merasa terpukul, terperanjat dengan propaganda ISIS yang menjerat putrinya.
Di Syria, Begum menikah dengan Yago Riedijk, pemuda berkebangsaan Belanda, yang sama-sama tergabung dalam jaringan ISIS. Riedjik ikut dalam pertempuran, sedangkan Shamima Begum melewatkan hari di kamp-kamp ISIS.
Setelah beberapa tahun di kamp, Shamima Begum bermaksud kembali ke Inggris. Ia sudah bosan dengan kerasnya hidup di tengah himpitan perang, senjata, dan peristiwa sadis di medan pertarungan di Syiria. Dua anaknya meninggal di tengahnya ganasnya kawasan konflik di Syiria. Ketika mengandung anak ketiga, Shamima Begum ingin pulang ke Inggris, negara tempat ia dilahirkan.
Namun, keinginan perempuan muda itu bertepuk sebelah tangan, otoritas Inggris menolak permintaannya, serta berencana mencabut kewarganegaraan Shamima Begum. Sajid Javid (Home Secretary), pejabat yang paling bertanggungjawab atas masalah pengungsi, imigrasi dan urusan dalam negeri, menolak kepulangan Shamima Begum.
Ironisnya, di tengah peristiwa yang berlarut-larut ini, bayi laki-laki Begum meninggal dunia. Jarrah, putra Begum yang lahir di kamp pengungsian Syiria, meninggal dunia. Kisah ini kemudian ramai diperbincangkan di Inggris, serta diperdebatkan oleh berbagai kantor berita.
Dianne Abbot (Shadow Home Secretary), mengkritik kebijakan Sajid Javid yang mencabut kewarganegaraan Shamima Begum. Abbot menulis dalam cuitan twitternya: “It is againts international law to make someone stateless, and now an innocent child has died as a result as a british woman being stripped of her citizenship.. [tindakan itu melawan hukum internasional untuk menjadikan seseorang tidak punya negara, dan sekarang seorang anak yang tidak berdosa meninggal sebagai akibat dari seorang perempuan Inggris yang kewarganegaraannya dicabut]”.
Sementara, Sajid Javid berkomentar, menyatakan prihatin dengan meninggalnya bayi-bayi di kawasan perang, sesuatu yang berbahaya sekali. “… I will say, sadly [is that] probably there are many children, obviously perfectly innocent, who have been born in this war zone. I have nothing, but sympathy for the children that have been dragged into this. This is a reminder of why it is so, so dangerous for anyone to be in this war zone [..Saya ingin mengatakan, menyedihkan.. mungkin di sana [di Syria] banyak anak-anak, tentu saja mereka tidak berdosa, yang lahir di kawasan perang. Saya bersimpati kepada anak-anak yang terbawa pada situasi ini. Hal ini menjadi pengingat, tentang bagaimana ini sangat berbahaya bagi siapapun untuk berada pada kawasan perang].
Sajid Javid dikritik karena kebijakannya, mengakibatkan bayi yang tidak bersalah akhirnya meninggal. Shamima Begum harus menanggung kesedihan, ia terlunta-lunta setelah runtuhnya ISIS di Syiria. Kini, ia harus bertahan di kamp pengungsian. Kisah Shamima Begum masih berlanjut, menyeret perdebatan publik di Inggris pada isu-isu imigran, terorisme, islamophobia dan wilayah kemanusiaan.
Ada ratusan anak-anak yang lahir di zona perang di Syiria. Selepas ISIS runtuh dan kawasan yang dulunya dikuasai jihadis beralih ke pengawasan militer Kurdi, masalah-masalah baru muncul di antaranya tentang status anak-anak eks jihadis ISIS. Bagaimana nasib mereka?
Pemerintah Inggris belum punya skema yang tegas tentang hal ini. Meski sebagian dari eks jihadis di medan perang, pernah diizinkan kembali ke kawasan UK. Sementara, pemerintah Prancis memperbolehkan anak-anak eks-jihadis ini kembali, dengan sistem repatriasi. Sedangkan, orang tua mereka tidak diizinkan kembali. Beberapa pemerintah negara-negara Eropa juga tidak memiliki system dan sikap yang jelas, untuk menangani eks-jihadis ISIS yang kembali dari Syiria.
Laporan the International Centre for the Study of Radicalisation (2018) mengungkap, lebih dari 40.000 orang dari 80 negara terafiliasi dalam jaringan ISIS, yang tergabung di Syiria dan Irak. Dari jumlah 5000 warga Eropa, sekitar 1200 memilih pulang ke negaranya. Dari data warga Eropa yang bergabung dengan ISIS, penduduk Prancis paling banyak, yakni 1910 jiwa. Disusul Jerman (960), dan United Kingdom (850).
Kebangkrutan ISIS di Syiria dan Irak menyisakan masalah global. Eks jihadis ISIS berangsur-angsur kembali ke negara masing-masing, dengan menyisakan luka perang dan imajinasi tentang kebangkitan khilafah. Hal ini juga menjadi masalah pemerintah Indonesia.
Dalam catatan riset Joshua Roose (2018), ada sekitar 1000 orang dari Asia Tenggara yang bergabung dengan tentara ISIS di kawasan Syiria dan Irak. Diperkirakan, sekitar 700 orang Indonesia ikut berangkat ke Syiria, tergoda dengan propaganda khilafah yang dihembuskan jaringan ISIS.
Jika menggunakan perbandingan prosentase dengan jumlah muslim Indonesia yang berjumlah 225 juta, tentu angka 700 orang menjadi kelihatan rendah. Tapi, jaringan ini juga perlu diwaspadai dalam penanganan teror, khususnya setelah kekhalifahan ISIS bangkrut. Eks kombatan ISIS yang menyebar ke Asia Tenggara, bahkan yang masuk ke Indonesia, perlu dianalisa dengan seksama.
Apalagi, secara bertahap, beberapa warga negara Indonesia yang tergoda dengan iming-iming ISIS, pulang ke Indonesia. Di antaranya, enam orang WNI yang pulang ke Indonesia pada 21 September 2017 lalu.
Kasus Shamima Begum menjadi pelajaran penting bagi kita, bagaimana dilema kemanusiaan, hak anak dan warga negara, berbenturan dengan kewaspadaan untuk menangani para simpatisan dan mantan pejuang ISIS. Kisah ini masih berlanjut, menyedot perhatian yang semakin luas, pada masalah-masalah global akibat terorisme, kekerasan perang dan perlakuan terhadap imigran korban perang. Kisah sedih yang menjadi cermin bagi masalah global saat ini. []