Kisah Seorang Tuna Netra yang Selalu Menerima Takdir dan Dicintai Allah

Kisah Seorang Tuna Netra yang Selalu Menerima Takdir dan Dicintai Allah

Kisah Seorang Tuna Netra yang Selalu Menerima Takdir dan Dicintai Allah

Suatu hari, Khalaf bin al-Barza’i bertemu dengan seorang lelaki shalih yang cacat secara fisik. Selain tuna netra, ia juga tak memiliki tangan dan kaki. Khalaf bertegur sapa dengannya dan menanyakan, “bagaimana kabarmu?”.

“Cinta dari kekasihku (Allah Swt, pen.) selalu meliputiku,” jawab si lelaki tersebut. Ia lalu menambahkan, “Aku juga tidak pernah merasakan sakit apapun ketika aku bersama cinta-Nya, sebab Dia tak pernah melupakanku”.

“Aku lupa tentangmu. Siapa gerangan yang engkau maksud itu?” tanya Khalaf penasaran.

Lelaki itu menjawab, “Aku memiliki seorang kekasih yang selalu mengingatku. Bagaimana mungkin seorang kekasih tak ingat kekasihnya. Dia selalu menampakkan pandangannya dengan tanda-tanda pada akal dan hati”.

Karena merasa iba dengan kondisi lelaki tersebut, Khalaf pun menawarkan bantuan, “Maukah kamu aku nikahkan dengan seorang perempuan, agar ada seseorang yang selalu membantumu?”

Bukannya menjawab, si lelaki tersebut malah menangis dan mengarahkan pandangannya ke atas sembari berkata, “Wahai kekasih hatiku…” Seketika, ia langsung jatuh pingsan.

Segera setelah lelaki itu sadar, Khalaf yang penasanaran tentang apa yang telah dikatakan lelaki tersebut sesaat sebelum pingsan pun bertanya, “Apa yang kamu katakan barusan?”

Lelaki itu tak menjawab pertanyaan Khalaf. Ia justru bertanya penuh keheranan tentang tawaran menikah sebelumnya, “bagaimana mungkin engkau menikahkanku. Aku ini kan pemiliki dan pengantinnya dunia (aku memiliki semua hal, pen.)”.

“Apa yang kamu miliki? Tangan dan kaki kamu tak punya. Kamu juga buta. Makan saja, kamu seperti makannya binatang,” tanya Khalaf heran.

Lelaki itu kemudian menjawab bahwa ia selalu ridla dengan apapun yang diberikan (ditakdirkan) oleh kekasihnya itu dan selalu berdzikir kepada sang kekasih itu dengan lisannya.

Sayangnya, tak lama setelah itu, si lelaki itu meninggal dunia. Khalaf menyumbangkan sebuah kain kafan untuk digunakan membungkus jenazahnya. Karena terlalu panjang, kain kafan itu akhirnya dipotong oleh Khalaf.

Suatu malam setelah penguburan jenazah itu, Khalaf bermimpi mendengar ada yang berkata kepadanya, “Wahai Khalaf, engkau sungguh bakhil/pelit terhadap kekasihku dengan memberikan kain kafan yang engkau potong kemarin itu. Sekarang, aku kembalikan saja kain kafan pemberianmu. Aku akan mengakafaninya dengan sundus (sutera tipis) dan istabraq (sutera tebal)”.

Setelah bangun, ia bergegas menuju sebuah kamar di rumahnya yang awalnya ia gunakan sebagai tempat menyimpan kain kafan. Anehnya, ketika ia sampai di kamar tersebut, ia menemukan kain kafan pembungkus jenazah lelaki cacat tersebut sudah tergeletak.

Kisah di atas penulis sarikan dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Meski kisah di dalam kitab tersebut diberi judul “Lelaki Shalih yang Sabar Menghadapi penyakitnya”, namun jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, kisah di atas juga mengajarkan kepada kita sebuah sikap ridla (rela) terhadap apapun yang ditentukan Allah Swt.

Menurut al-Jurjani dalam Mu’jam al-Ta’rifat, sikap ridla adalah bahagianya hati terhadap pahitnya qadla (ketentuan Tuhan).

Bukti di lapangan, memang apapun yang ditetapkan Tuhan dalam kehidupan seseorang tak selamanya indah. Kadang ada kondisi dimana seseorang berada di titik terendah dalam kehidupannya. Bukankah roda kehidupan selalu berputar?

Dalam kitab Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin disebutkan, Nabi Musa as pernah bertanya kepada Allah tentang suatu hal/perbuatan yang diridlaiNya. Tujuannya, setelah mengetahui, Nabi Musa as akan mengerjakannya.

Allah Swt berfirman, “RidlaKu berada pada suatu hal yang kamu benci, yang kamu tidak akan sabar terhadapnya”.

“Tuhan, tolong tunjukkan kepadaku!” desak Nabi Musa.

Allah Swt menjawab, “RidlaKu berada pada ridlamu terhadap qadlaKu. Ketahuilah, ridla adalah pintu Allah yang sangat besar. Siapa saja yang bisa meraihnya, maka sungguh ia berada pada derajat tertinggi”.

Walhasil, secara teori, cara “termudah” yang bisa dilakukan untuk menggapai ridla Allah  adalah dengan meridlai segala apa yang telah ditetapkan olehNya dalam kehidupan kita. Semoga kita dimasukkan ke dalam barisan hamba-hamba Allah yang selalu ridla terhadap ketentuanNya. Amin.