Kisah Seorang Sufi dan Hantu Covid 19

Kisah Seorang Sufi dan Hantu Covid 19

Saya ingin mengatakan bahwa COVID-19 yang sedang bertamu ke negeri ini, memberi tugas bagi kita untuk saling menjaga dan mengupayakan keselamatan setiap orang.

Kisah Seorang Sufi dan Hantu Covid 19

Alkisah, ada seorang raja yang sakit. Sakit keras menahun. Setelah banyak berobat ke banyak tabib, tak kunjung membaik. Kemudian ada seorang penasehat raja yang mengusulkan untuk mendatangi salah seorang sufi, sosok yang dikenal secara umum sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Tak butuh waktu lama, sang sufi pun diundang ke istana.

Apa yang dikatakan sang sufi, di luar perkiraan raja. Termasuk para tabib istana. Penyakit yang diderita raja, menurut sang sufi berasal dari ‘kegelisahan’ batin yang dipendam terlalu lama. Bertahun-tahun tanpa ada jalan pengungkapan. Tidak ada orang di sekitar raja yang bisa dipercaya sebagai mitra sharing kegelisahan sang raja.

Resep obat pun kemudian diberikan. Sederhana. Obat dari penyakit raja adalah bersedia membuka hati dan percaya kepada orang-orang terdekat. Ada tambahan lagi. Sang raja, sampai penyakitnya sembuh, harus selalu melihat ‘warna hijau’. Tidak boleh tidak. Sudah. Kemudian sang bijak pun pamit undur diri.

Diagnosis pertama, tidak banyak membuat kegemparan. Banyak orang pelan-pelan dapat mencerna dan memahami jalan pikiran sang bijak tersebut. Tetapi, untuk obat yang kedua yaitu harus selalu melihat warna hijau, menggemparkan seluruh istana. Seluruh jajaran pejabat, bingung mencari solusi. Akhirnya diambil langkah yang dinilai paling efektif. Secara resmi, kerajaan mengumumkan untuk mengecat

seluruh kota raja dengan warna ‘hijau’. Harus hijau seluruh bangunan kota. Tak cukup sampai di sini. Semua orang yang berpotensi bertemu dengan raja diharuskan memakai pakaian dan aksesoris warna hijau. Intinya semua yang mungkin dilihat oleh baginda raja, dihijaukan. Istana, kerajaan, jalanan, kota, rumah, gedung, pagar, semua harus hijau.

Kabar baiknya, berangsur-angsur sang raja membaik. Tak butuh waktu lama, hanya berselang beberapa bulan sang raja pun akhirnya sembuh. Setelah itu, diundang kembali sang sufi ke istana. Raja ingin mengucapkan terima kasih.

Sampai di istana, sang raja nampak sangat bahagia. Wajahnya berseri dan aura di sekitarnya terasa cerah. Jauh berkebalikan dengan situasi pertama kali sang sufi di istana. Tanpa banyak berpikir, sang sufi pun menyadari bahwa raja telah sembuh. Semua nasehatnya telah dilakukan. Tapi, setelah sejenak berpikir, sang sufi ini menyadari sesuatu. Seketika dia tertawa terpingkal-pingkal. Tertawa keras tak tertahankan. Tawa yang polos, lugu, jujur, keras tanpa malu-malu.

Heran. Sang raja membiarkan saja. “toh, orang semacam ini tak bisa diringkus dalam nalar unggah-ungguh umum”. Begitu pikir sang raja. Buktinya, diagnosis dan obat yang diberikan kepadanya berbulan- bulan yang lampau, bukanlah hal biasa yang seturut nalar lumrah. Orang-orang di sekitar raja, beberapa tersinggung. Menganggap tamu kerajaan ini tak punya sopan-santun dan tak menghormati raja. Tapi semua ditahan dalam pikiran. Tak ada yang berani mencuapkan kata.

Selesai tertawa, sang sufi ini pun tenang seperti biasanya. Semacam selesai banjir bandang. Diam seperti tak terjadi sesuatu yang penting. Alih-alih merasa tak sopan. Dia kembali menghadapkan pandangan ke sang raja. Sang raja pun bertanya: “ya syekh, apakah ada yang lucu?”, “ataukah ada yang salah?”.

“Tidak”

“Tidak ada yang salah baginda”

“Aku bahagia, campur heran, dan memang lucu” “Setidaknya itu menurutku”

Sang sufi melanjutkan. Sebelum sang raja bertanya, dan berbicara, sang sufi berkata: “Aku tahu kamu telah sembuh, dengan melakukan apa yang aku resepkan”

“Tetapi aku tidak mengira akan berlebihan seperti ini”

“Apakah untuk melihat warna hijau, engkau memerintahkan menghijaukan seluruh kota raja?” sang sufi bertanya.

“iya” jawab raja.

“Begitu anehnya pikiranmu. Padahal engkau tak harus repot melakukan itu semua. Bukankah cukup engkau memesan seorang pembuat kaca mata untuk membuatkanmu kaca mata hijau, yang ketika itu kau pakai, kamu akan melihat semuanya nampak hijau?” Seketika hening mengisi seluruh istana.

Kisah tersebut adalah ilustrasi semata yang, mungkin terlalu panjang. Bahkan mungkin terkesan terlalu tidak penting di tengah keresahan massif atas merebaknya ‘hantu COVID-19’. Tetapi sebelum tergesa-gesa disudahi, saya ingin memberikan dua catatan dari kisah tersebut. Kaitannya dengan fenomena COVID-19.

Pertama, di tengah kepungan informasi dan kewaspadaan pandemi COVID-19, saya melihat ada sesuatu yang hilang. Yakni rasa tenang dan kejernihan pikiran. Di tengah kondisi seperti ini, justru kisah-kisah anekdot atau cerita berhikmah perlu sesekali dibaca untuk menetralkan suasana.

Kedua, ada yang penting dari kaca mata hijau. Ini adalah kiasan bahwa manusia selalu melihat dari resolusi pandang yang melekati indera resepsinya. Jika COVID-19 dipandang sebagai momok berbahaya yang, sangat menakutkan. Ketika resolusi ketakutan ini begitu padat, maka semua yang dilihatnya akan nampak sebagai ancaman. Keluar rumah, ancaman. Bertemu orang, ancaman. Berkendara, ancaman.

Berhenti, ancaman. Bahkan setiap hirup-hembusan nafas adalah udara yang mengancam.

Begitupun sebaliknya. Bila seseorang memiliki satu alat pandang yang jernih dan menenteramkan terhadap setiap hal, COVID-19 akan nampak wajar. Setidaknya untuk orang-orang yang beriman. Semua akan terlihat sebagai wajar, sak madyo.

Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa 1990-an awal, berkata: “salumahing bumi, sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (Ki Ageng Suryomentaram, 1989: 7). Di seluruh jagat bumi dan langit, tidak ada perkara yang begitu penting untuk diupayakan secara berlebihan. Termasuk pandemi yang sekarang sedang menghampiri negeri ini.

Sebagai penutup. Saya ingin mengatakan bahwa COVID-19 yang sedang bertamu ke negeri ini, memberi tugas bagi kita untuk saling menjaga dan mengupayakan keselamatan setiap orang. Caranya, sudah ada himbauan dan instruksi resmi dari pemerintah, cukup itu dilakukan. Selebihnya kita mengurusi mental dan kejernihan pikiran kita. Supaya hasil dari upaya penyelamatan dan pengentasan wabah ini cepat mereda. Tak ada perkara yang beres dengan baik, bila ketakutan, kecemasan, dan kepanikan terus menerus dipupuk menyertai suatu perbuatan. Terlebih di saat krisis semacam ini.

Semoga kita semua terjaga dari paparan COVID-19, dan bahaya-bahaya apapun yang menyertainya. Amin.