Kisah Seorang Raja Bani Israel yang Takut Memiliki Anak Saleh

Kisah Seorang Raja Bani Israel yang Takut Memiliki Anak Saleh

Kisah Seorang Raja Bani Israel yang Takut Memiliki Anak Saleh

Di suatu zaman, hidup seorang raja dari Bani Israel dengan kekuasaan yang besar. Selain memiliki harta memlimpah dan usia panjang, ia juga mempunyai banyak anak. Namun, ia kecewa karena setiap anaknya, ketika dewasa, tidak ada yang mau menekuni politik, sebagaimana sang ayah. Mereka memilih jalan menjadi seorang sufi.

Hal ini membuat sang raja bingung. Takut tak ada yang meneruskan tampuk kepemimpinan kerajaan. Hingga, suatu ketika ia sudah terlampau tua, ia memiliki anak lagi (sebut saja Fulan). Oleh sang raja, Fulan digadang akan menjadi penerusnya memimpin kerajaan dan tidak diizinkan untuk mengikuti jejak kakak-kakaknya menjadi sufi.

Sang raja pun memanggil para petinggi kerajaan dan mengatakan apa yang ia rasakan dan inginkan. “Saya ingin anak bungsu saya ini mencintai dunia dan kelak mau meneruskan kepemimpinan kerajaan ini. Lakukan segala cara agar keinginan saya ini berhasil!,” perintah sang raja.

Petinggi kerajaan berdiskusi dan sepakat untuk membangun benteng yang tinggi agar si putra mahkota tidak mengenal dunia luar sama sekali. Ia dididik untuk selalu menyukai kemewahan dunia.

Setiap sang anak berjalan-jalan menunggang kuda, ia selalu mentok terhalang benteng, tidak bisa keluar. Ia berkata kepada para karyawan kerajaan, “Saya yakin, ada kehidupan di luar benteng ini. Saya mohon, keluarkan saya dari sini!. Saya ingin menambah wawasan dan bertemu banyak orang”

Hal itu dilaporkan kepada raja. Raja bingung. Raja pun mengambil inisiatif untuk memberikan hiburan kepada si anak agar ia tidak lagi ingin keluar kerajaan, “Sediakan hiburan dan permainan untuknya!”

Fulan terhibur dan keinginannya keluar bisa dibatalkan. Namun, setahun kemudian, ia ingin keluar benteng lagi. Sang raja mengetahui. Kali ini, entah karena apa, sang raja mengizinkan. Fulan akhirnya bisa jalan-jalan keluar kerajaan, namun tetap dengan pengawalan ketat.

Di luar, ia melihat ada seorang yang sakit. Ia bertanya, “Apa itu?”

“Dia orang yang sedang sakit,” jawab para karyawan kerajaan.

Fulan bertanya apakah setiap orang, termasuk dirinya yang memiliki segala kemewahan, juga bisa mengalami sakit. Mereka (para karyawan kerajaan) mengiyakan. Saat itu, ia berkesimpulann bahwa kehidupan dunia ini sungguh tidak menyenangkan. Ia kembali ke kerajaan dengan perasaan sedih.

Melihat anaknya sedih, sang raja memberikan perintah untuk menghibur anaknya dengan segala hiburan. Ia terhibur sesaat. Setahun kemudian, Fulan ingin keluar lagi untuk melihat dunia di luar benteng.

Di luar benteng kerajaan, Fulan melihat seseorang yang sudah tua dan pikun. Ia bertanya, “Apakah setiap orang akan mengalami hal demikian dan ia takut terhadao hal itu?”. Para karyawan kerajaan mengiyayakan.

“Kehidupan macam apa ini!,” jawab Fulan dan kemudian ia pun bersedih.

Singkat cerita, sang raja mengetahui kesedihan raja. Ia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya: menginstruksikan untuk kembali memberinya hiburan. Setahun kemudian, hal yang sama terjadi: Fulan berjalan-jalan ke luar kerajaan.

Kali ini, ia melihat beberapa orang mengangkat keranda dan di atasnya ada jenazah. Fulan bertanya tentangnya. Para karyawan menjawab, “Itu orang yang mati”. Fulan memerintahkan jenazah itu dibawa ke hadapannya.

“Coba suruh jenazah itu duduk!?,” perintah Fulan.

“Tidak bisa,” jawab para karyawan kerajaan.

Ia memberi perintah lagi, agar jenazah itu berbicara. Jawaban yang diberikan kepadanya pun sama: tidak bisa. Fulan bertanya lagi tentang kemana jenazah itu akan dibawa.

“Akan dikubur,” jawab mereka.

Karena penasaran, Fulan terus bertanya. Kali ini, tentang apa yang akan dialami oleh jenazah itu setelah dikuburkan. Mereka menjawab, “Ia akan mengalami hasyr”. Fulan terus mengejar. Para karyawan menjelaskan bahwa hasyr adalah kondisi dimana seseorang akan dibangkitkan dan menghadap Tuhan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakan selama hidup di dunia.

Singkat cerita, dari seluruh pertanyaan dan kejadian yang dialaminya, akhirnya Fulan memutuskan untuk meninggalkan kemewahan kerajaan dan memilih hidup menjadi seorang sufi.

Dari cerita di atas, kita bisa belajar bahwa untuk bisa mengetahui dan meyakini hakikat kehidupan untuk selanjutnya fokus kepada akhirat sebenarnya hal mudah. Kita tinggal melihat sekitar kita saja, sebagaimana yang dilakukan Fulan.

Adanya orang sakit, tua dan pikun, dan meninggal adalah tanda paling nyata bahwa kehidupan ini adalah berlangsung sementara dan karenanya tidak pantas dijadikan tujuan. Dunia adalah sarana/tempat mengumpulkan bekal hidup di alam yang lebih baik: akhirat. Wallahu a’lam.

 

Sumber Kisah:

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.