Kisah Seorang Pelacur dan Kiai

Kisah Seorang Pelacur dan Kiai

Kisah Seorang Pelacur dan Kiai

Umar Khayyam, pujangga dan cendikiawan muslim abad 11-12 Masehi, menarasikan sebuah dialog yang bernas dalam salah-satu bait kwatrinnya yang terkenal. Dialog itu sebagai berikut :

“Seorang Syaikh berkata kepada seorang pelacur :”engkau mabuk dan setiap malam berada dalam pelukan laki-laki yang berbeda..!” si pelacur menjawab :”O…Syaikh, aku memang seperti apa yang engkau katakan, namun apakah engkau sungguh-sungguh seperti yang terlihat? ”

Umar Khayyam begitu jitu menampar praktik beragama yang hanya sibuk pada simbolisasi. Seorang Syaikh, seorang Kyai begitu mudah menghardik seorang pelacur. Di mata sang Kyai, seorang pelacur itu begitu bejat, karena tiada hari tanpa berperilaku maksiat, mabuk dan bersetubuh dengan laki-laki yang berbeda di tiap malamnya.

Sang Kyai begitu jijik dengan perilaku itu dan dengan keras menghardiknya. Namun, jawaban dari si pelacur ternyata bernas. “aku memang seperti yang kau katakan tapi apakah kau seperti yang terlihat? ”

Seorang pelacur memang terlihat dengan kasat mata berbuat bejat, tetapi apakah seorang kyai memang selalu baik seperti yang tampak?

Dari dialog di atas, Umar Khayyam hendak mengingatkan bahwa seorang pelacur jauh lebih jujur atas kebejatan yang ia lakukan. Sebaliknya, sang Syaikh atau sang Kyai justru menjadi manusia yang menipu diri. Lebih suka menilai orang lain daripada menengok diri sendiri.

Berapa banyak, Kyai atau Syaikh atau Habib yang menjadikan jubah keulamaan untuk berbuat bejat? Atau untuk menipu umat?

Jika pelacur berbuat bejat secara terang-benderang, seorang Syaikh atau Kyai atau Habib boleh jadi berbuat bejat secara sembunyi-sembunyi, tak ada yang tahu atau malah perbuatan bejatnya itu ditutup-tutupi oleh orang sekitarnya.

“pelacur selalu salah dan kyai tidak boleh salah “, demikian kira-kira pameo yang terlontar.

Dan, kita – terutama saya – sering memposisikan diri sebagai Syaikh dalam dialog di atas, gampang berprasangka buruk pada orang lain, sulit menengok diri-sendiri, merasa diri sebagai orang suci atau sok suci.

Seperti orang kalap, kita – terutama saya – dengan mudah mengeluarkan kata-kata nista terhadap orang yang secara kasat-mata berperilaku bejat.

“perempuan lonte “, “sundel “, atau “wanita murahan ” dengan mudah kita ucapkan. Apakah dengan kata-kata itu dapat memperbaiki akhlak seorang pelacur?

Tidak, sungguh tidak, kata-kata buruk penuh hinaan itu justru membuat si pelacur menjadi sakit hati, merasa diisolasi dan dipandang sebelah mata.

Padahal, seorang pelacur tahu persis bahwa tindakannya salah. Ia hanya butuh sedikit motivasi, pelukan cinta, agar bisa berubah; bukan intimidasi atau cercaan.

Astagfirullah hal adzhim