Beberapa hari ini saya tengah asik membaca kisah-kisah para korban bom bertemu mantan pelaku terorisme. Sungguh saya tidak bisa bayangkan betapa gregetnya pertemuan tersebut. Saya barangkali belum bisa memaafkan orang-orang yang menyakiti saya dan atau orang-orang saya cintai.
Sisi lain, saya mungkin masih nggak enak sendiri bertemu orang yang pernah saya sakiti. Rasanya lebih dalam dari penyesalan dan malu bertemu dengan kawan yang kita utangi di akhir bulan, tetapi nggak kita bayar utangnya selama satu semester. Malu, Gaes!
Salah satu kisah Sarbini di 9 September 2004. Dia sedang memasang jariangan kabel di sebuah plaza seberang Kantor Dubes Australia.
Naas, saat tengah berjuang mencari nafkah bagi keluarganya sebuah ledakan di kantor Kedutaan Besar Australia terjadi. Tubuhnya terpental hingga mengalami luka parah di bagian dahi dan harus mendapatkan puluhan jahitan.
“Saya tidak benci pada pelaku. Saya sering dinasihati ustad bahwa setiap musibah apa pun ada hikmahnya jadi kita ambil saja hikmahnya,” kata Sarbini.
Saat Sabini membagikan kisahnya, duduk disampingnya ada Kurnia, mantan pelaku terorisme. Kurnia tidak dapat berkata banyak karena terharu sikap Sarbini memaafkan orang seperti dirinya. Dia sempat mengenang ketika masih dalam jaringan pelaku terorisme.
Kurnia didoktrin bahwa orang-orang di luar kelompoknya adalah kafir, biar pun beragama Islam, keislaman mereka diragukan.
Pada akhir acara, Kurnia dan Sarbini berpelukan dan berjabat tangan. Seisi ruangan tampak terharu menyaksikan proses menyejukkan ini.
Jiwa yang Matang
Melihat kisah di atas, saya kemudian berkaca betapa remehnya jika kita sakit hati karena pertemuan tanpa disengaja dengan mantan cemewew yang jalan bersama pasangan barunya. Sungguh receh jika dibandingkan para korban terorisme mau saling bermaaf-maafan bahkan berpelukan dengan mantan pelaku terorisme. Hati ini terlalu lapang untuk sebuah dendam dan sakit hati.
Meski tidak bijak, namun saya rasa kita bisa saja menerima korban terorisme benci terhadap pelaku terorisme, namun alih-alih benci, mereka justru bersama-sama mempromosikan perdamaian dan menjalin silaturrahmi. Dalam Psikologi dikenal sebuah istilah Posttraumatic Growth.
Posttraumatic Growth adalah sebuah pengalaman individu yang memberi perubahan positif setelah menghadapi krisis besar dalam kehidupan. Perubahan terjadi terutama hal kognitif dan emosional, sehingga peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran tentang kebermaknaan hidup dan asumsi tentang diri sendiri, orang lain, dan masa depan.
Posttraumatic Growth yang terjadi kepada korban dan mantan pelaku terorisme membuat mereka menjadi insan-insan yang tenang. Saya teringat al Fajr ayat 27 sampai ayat 30.
“Wahai jiwa yang tenang! (27), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku (29), dan masuklah ke dalam surga-Ku (30).” (Al-Fajr 27-30).
Belajar Berdamai
Kita bisa saja terbiasa hidup dengan orang yang berbeda pilihan dan interpretasi agama, tetapi masih ada sebagian dari kita yang masih tinggi ego. Suka memprotes sesuatu yang dianggapnya mengganggu kepercayaanya, tetapi ketika diprotes cara beragamanya malah nge-gas duluan. Sebagian itu jumlahnya sedikit, tetapi kalau ngomong mengeraskan suara. Tidak menunjukkan sikap untuk melanjutkan misi Rasulullah.
“Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak). (HR Bukhari).
Belajar dari kebesaran hati korban terorisme dan mantan pelaku terorisme, hanya dirimu sendiri yang bisa menyelesaikan tiap dendam. Peran hukum, etika sosial bahkan agama sekalipun hanya bisa menunjukkan jalan yang damai.
Terserah diri kita, ingin kembali dengan hati yang ridha dan diridhaiNya (radiyatan mardiyah) caranya mempromosikan cara-cara baik (akhlaqul karimah) atau malah sibuk mengafirkan, membid’ahkan dan menyesatkan kiri kanan.
Alasannya jelas, perang terbesar kita bukan memerangi orang-orang menyimpang, tetapi melawan diri sendiri, begitu kata Rasulullah. Wallahu’ alam bishawab.