Banyak orang yang karena piawai mengelola hatinya dengan baik, ia kemudian beruntung menjadi ahli surga. Bagaimana tidak, surga hanya boleh ditempati oleh orang-orang yang hatinya bersih dari iri, dengki dan tidak kotor.
Kejernihan hati merupakan barometer keimanan seseorang. Bagaimana orang itu bisa mengolah perasaan jengkel menjadi hilang, perasaan iri dengan apa yang diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia olah menjadi ikhlas terhadap apa saja yang diberikan Allah sebagai orang lain. Bagaimana pula ia mengelola hati dari menduga buruk (su’udzon) dirubah menjadi husnudzon. Hal tersebut bukan merupakan pekerjaan yang mudah.
Tidak heran, apabila ada salah seorang sahabat ansor yang mendapat nash (semacam SK) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan karena amalannya yang tampak kasat mata. Namun karena pekerjaan olah batin yang berhasil ia jalankan.
Anas bin Malik, salah satu sahabat Rasulullah yang juga pernah menjadi pembantunya, mengisahkan, kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersabda, “Sebentar lagi, akan muncul di hadapan kalian, seorang penduduk surga”.
Baru saja Rasulullah diam dari sabdanya, tampak seorang sahabat Ansor datang, jenggotnya masih basah terkena bekas air wudlu, terlihat tangan kirinya sedang menenteng kedua sandal yang ia punya.
Esok harinya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan satu hal yang sama persis dengan yang kemarin. Dan muncul kembali orang dan ciri-ciri yang sama seperti kemarin. Hal yang sama persis seperti ini kembali berulang hingga pada hari yang ketiga.
Pada hari ketiga tersebut, usai Rasulullah berdiri, meninggalkan majlis, salah seorang sahabat, Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash membuntuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku sedang punya masalah dengan ayahku. Dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Bolehkah aku menginap di rumahmu sampai tiga hari ?
“Oh, silahkan”. Jawab lelaki yang dipastikan Rasulullah akan masuk surga ini.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash kemudian menginap di rumah lelaki tersebut selama tiga malam. Ia sama sekali tidak melihat sang tuan rumah mengerjakan salat malam. Hanya saja, jika ia sedang terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur, maka ia hanya tampak berdzikir kepada Allah dan bertakbir sampai ia bangun untuk untuk menjalankan ibadah salat subuh.
Dalam kisah yang disampaikan Abdullah, ia menyebutkan “Tidak ada yang istimewa dari lelaki tadi. Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya mengatakan apapun kecuali dengan ucapan yang baik”
Dan saat berlalu tiga hari, kenang Abdullah, hampir saja aku meremehkan kegiatan yang dilakukan seorang Ansor tadi. Maka akupun terus terang berkata kepadanya :
Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya antara aku dan ayahku tidak ada masalah, apalagi hingga boikot, tidak sama sekali. Tapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata hingga sebanyak tiga kali “Akan muncul di hadapan kalian seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang tiba-tiba datang. Hal itu mendorong aku untuk menginap bersamamu supaya aku bisa melihat apa saja amalanmu. Dengan begitu, aku aku bisa menirunya. Namun aku justru tidak melihat dirimu melakukan banyak beramal.
Sebenarnya amalan apa yang mengantarkanmu, hingga pada derajat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (bahwa kamu min ahlil jannah)?”.
Lelaki ini menjawab “Tidak ada yang istimewa kecuali amalanku yang sebagaiman telah kamu lihat”
Dalam hadis tersebut, Anas bin Malik melanjutkan riwayatnya, Abdullah lalu mengatakan “Saat aku beranjak pergi maka iapun memanggilku dan berkata “Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”
Mendapat jawaban memuaskan ini, Abdullah menimpali “Nah, inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, red). Dan inilah yang kami tidak mampu”. (HR Ahmad : 12236)
Ada beberapa hadis yang menjelaskan keistimewaan orang yang bisa mengolah hatinya dengan baik.
قِيْلَ : أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: كُلُّ مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ، صَدُوْقُ اللِّسَانِ، قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ، فَمَا مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ، لَا إِثْمَ فِيْهِ وَلاَ بَغْيَ، وَلاَ غِلَّ، وَلاَ حَسَدَ (رواه ابن ماجه: 4216)
Artinya : Ada yang bertanya kepada Rasulullah, manusia model bagaimana yang paling utama? Lalu dijawab oleh Rasulullah, setiap makhmumul qalb dan shaduqul lisan (mulut yang selalu berkata jujur). Sahabat kembali bertanya, “Kalau shaduqul lisan (mulut yang selalu berkata jujur) kita semua sudah tahu. Tapi apa itu makhmumul qalb?. Rasul menjawab “Itu adalah ornag yang bertakwa, hatinya bersih, tidak pernah berbuat dosa, tidak pernah memberontak, dendam/benci dan iri kepada orang lain sama sekali. (HR. Ibnu Majah : 4316)
Hadis ini menjadi semacam penguat dengan kisah yang terjadi pada sahabat di atas. Sehingga, hanya orang yang hatinya bersihlah yang berhak masuk surga. Dalam Al Qur’an disebut
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89) [الشعراء/89]
Artinya : …. kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat (QS Asy Syu’ara’ : 89)
Oleh Ibnu Sirin, qalbul salim dalam ayat ini berarti orang yang hatinya tidak punya iri dengki dengan orang lain. Orang itulah yang akan masuk surga.
Begitu pula pada ayat lain, ciri-ciri ahli surga adalah mereka yang telah diangkat sifat iri dan benci dari hati mereka. Allah Ta’ala bersabda
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ (47) [الحجر/47][
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara”
Oleh karena itu, barangsiapa ingin menduduki surga, sejak di dunia perlu melakukan sifat-sifat yang dimiliki oleh ahli surga.