Amr bin Ash, seorang gubenur di Mesir di masa Khalifah Umar bin Khatab memerintah, mengira dirinya adalah seorang penguasa yang mewakili Tuhan sepenuhnya di muka bumi. Tindakannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, menunjukkan bagaimana ia berpikir sempit. Pikiran yang pada masa kini masih saja terus ada, dan sering menjadi persoalan besar dan berimplikasi buruk.
Kekuasaan yang seringkali khilaf, tidak lagi bermata hati, gelap dan seringkali menyakiti perasaan orang lain yang tidak sama. Namun, Amr bin Ash untungnya adalah pribadi yang terbuka (setidaknya seperti itu prasangka baik kita).
Di masa pemerintahannya, di suatu waktu, gubenur itu melihat gubuk reyot di depan istananya yang megah. Sebuah gubuk yang berdiri di atas tanah yang cukup luas. Pemiliknya adalah seorang Yahudi tua dan miskin. Setiap kali keluar istananya, Amr bin Ash melihat gubuk itu, dan dahinya terangkat oleh rasa tidak nyaman. Ia melihat kontras yang nyata antara istananya yang megah dengan rumah buruk di hadapannya. Hatinya tiba-tiba terganggu.
Perasaannya seolah dilingkupi oleh badai yang keras, dan menuntutnya untuk berbuat sesuatu demi melenyapkan kekotoran itu. Maka, suatu ketika, Amr bin Ash berpikir untuk membeli tanah milik orang Yahudi tersebut. Alangkah baiknya bila gubuk itu dirobohkan, dan kemudian didirikan masjid.
Demikianlah, masjid tentu akan menjadi ruang yang jauh lebih pantas ketimbang gubuk reyot yang buruk. Masjid memiliki manfaat bagi masyarakat muslim, baik secara horisontal maupun vertikal. Keberadaan masjid tentu akan memiliki nilai ibadah, bagi dirinya, dan setiap jama’ah yang meramaikan.
Untuk itu, dengan satu pertimbangan atas dasar ibadah, menurutnya, Amr bin Ash perintahkan agar mengambil rumah Yahudi itu. Dirobohkan dan dibangun masjid yang megah. Ketika perintah itu sampai pada orang Yahudi pemilik rumah, wajah pria tua itu menjadi pucat pasi. Darahnya bergolak. Ia marah, tentu saja, dan ia menolak dengan tegas.
Ia tak ingin rumahnya dihancurkan. Ia tak ingin tanahnya diambil alih dan didirikan masjid. Namun, ia hanyalah rakyat kecil yang tak memiliki kuasa dan harta. Seluruh upaya protesnya membentur tembok tebal penguasa. Perintah gubenur Mesir itu tak bisa dibatalkan.
Setelah upaya protesnya gagal, dan hatinya dicekam oleh rasa sakit dan dendam, tiba-tiba ia teringat akan kabar tentang pemimpin yang adil, yaitu Khalifah Umar bin Khatab. Ia mendengar pemimpin kaum muslimin itu adalah pemimpin yang jujur dan dipenuhi rasa keadilan. Meskipun demikian, ia ragu.
Umar bin Khatab adalah pemimpin kaum muslimin, sedangkan dirinya adalah seorang Yahudi miskin yang tak memiliki kuasa dan harta. Mungkinkah Umar akan menerima keluhannya? Berhari-hari ia memikirkan itu. Hingga kemudian, ia bertekad untuk mencoba.
“Tak ada pilihan lain,” gumannya.
Maka, dengan tekad yang bulat, ia persiapkan dirinya dengan bekal hati yang kuat dan ransum untuk perjalanan ke Madinah. Perjalanan yang mungkin baru sampai setelah beberapa bulan. Demikianlah, Yahudi tua itu berangkat esok harinya, sementara Amr bin Ash mempersiapkan pmbangunan masjid di atas tanah yang tak pernah direstui pemiliknya.
Ketika sampai di Madinah, segera saja ia mencari istana sang Khalifah. Tapi ia tak menemukan banguna megah seperti istana Amr bin Ash. Ia bertanya di mana istana Khalifah Umar bin Kathab. Tapi jawaban orang tersebut membuat dahinya berkerinyit.
“Cari saja Amirul Mukmimin di Masjid. Ia biasa tidur di sana.”
Benar kata orang tersebut, ketika ia sampai di masjid dan bertanya di mana Umar bin Kathab, salah seorang di halaman masjid menunjuk seorang tinggi besar yang tengah tiduran di bawah pohon kurma.
“Wahai Amirul Mukminin,” sapanya ragu dan sedikit gemetar.
Umar bn Khatab melihatnya dan bertanya apa keperluannya. Orang Yahudi itu kemudian bercerita tentang dirinya, dan apa yang menimpanya.
“Saya meminta keadilan,” tutup Yahudi itu.
Mendengar itu, Umar bin Khatab bangkit dan duduk bersandar di batang pohon kurma. Wajahnya terlihat keras. Matanya memandang tajam wajah orang Yahudi tersebut. Setelah berpikir sejenak, Umar kemudian mengambil satu tulang belikat onta dan menggoreskan pedangnya di atas tulang itu, membuat garis silang.
Umar menyerahkan tulang itu pada Yahudi itu, dan berkata, berikan pada gubenru Amr bin Ash. Wajah pria Yahudi itu bingung. Hati dan otaknya tak bisa memahami mengapa jauh-jauh melakukan perjalanan untuk meminta keadilan, dirinya hanya menerima tulang?
Tapi Yahudi itu takut menentang. Dengan perasaan sedikit kecewa, ia kembali ke Mesir. Ketika ia sampai, rumahnya telah sirna, dan di atas tanahnya tengah dibangun sebuah masjid.
Esok harinya ia menghadap pada Amr bin Ash. Katanya, “saya baru saja bertemu Umar bin Khatab. Dan ia memberikan tulang ini untuk saya berikan pada Anda.”
Amr bin Ash terkejut mengetahui Yahudi tua itu menemui Amirul Mukminin. Semakin terkejut ketika ia melihat garis silang di tulang belikat onta tersebut. Dengan tubuh gemetar, ia panggil pembantunya untuk membatalkan pembangunan masjid. Amr bin Ash juga memerintahkan untuk mengembalikan hak milik Yahudi itu dengan kerugiannya. Yahudi itu senang sekaligus bingung dengan apa yang terjadi.
Hingga kemudian, ia mendengar jawabanyanya. Suatu ketika, Amr bin Ash ditanya mengapa ia takut melihat tulang belikat itu. Jawab gubenur mesir itu, “ Umar bicara padaku lewat tulang itu. Berlakulah lurus sepetrti huruf alif, dan bersikap adil, atau kupenggal lehermu.” (AN)
Oleh: Ranang Aji SP. penulis sastra dan mantan wartawan. Karya cerpen dan esainya dimuat di pelbagai media cetak seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Detik, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Fajar Makassar, Mata Budaya (Taman Budaya Yogyakarta), Solo Pos, Minggu Pagi, Bernas, Radar Surabaya, Surabaya Pos, dll.