Beribadah kepada Allah SWT adalah tujuan hidup manusia. Ibadah yang menentukan seorang hamba masuk neraka atau surga. Hal ini yang mendorong seorang hamba untuk berlomba-lomba meningkatkan ibadah agar bisa mendapatkan tiket masuk surga dan dihindarkan dari siksaan api neraka sebagaimana yang dijanjikan sang pencipta dalam beberapa firman-Nya. Intesitas ibadah yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda. Ada yang banyak ada juga yang sedikit, kadang bertambah kadang juga berkurang tergantung tingkat kesadaran yang muncul dalam dirinya.
Dalam Islam, memperbanyak ibadah memang sangat dianjurkan. Tetapi belum tentu semua amal ibadah yang banyak dilakukan itu dapat diterima di sisi Allah. Karena Allah SWT hanya menerima amalan terbaik dari seorang hamba bukan amalan yang banyak. Sebagaimana Allah SWT pernah berfirman, “(Dialah Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Q.S: Al-Mulk ayat 2).
Lalu bagaimana amalan terbaik yang diinginkan oleh Allah SWT? Menurut Nabi Muhammad SAW amalan terbaik itu adalah amalan yang paling dicintai oleh Allah. Alqamah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah tentang tata cara Nabi beramal apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal atau tidak. Aisyah menjawab, “Amalan beliau adalah amalan yang rutin dilakukan, (HR. Muslim).” Aisyah juga pernah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah amalan yang berkelanjutan atau rutin walaupun itu sedikit,” (HR. Muslim).
Dalam lembaran sejarah emas sahabat Nabi, ada peristiwa unik yang menunjukkan bahwa letak bernilainya amalan itu ialah bukan pada banyaknya tapi pada kandungan kebaikannya, meskipun sedikit.
Dalam buku Sirah Nabawiyah, Ali Muhammad al-Shalabi menceritakan bahwa ada sahabat yang hanya bermodal syahadat tulus kemudian ia berjihad hingga gugur syahid kemudian dimasukkan dalam golongan yang berhak mendapatkan surga. Padahal ia belum sempat shalat apalagi melaksanakan rukun Islam yang lainnya.
Amalannya terhitung sangat sedikit dan minim jika dibandingkan dengan amalan sahabat-sahabat lain yang sudah terlebih dahulu masuk Islam. Namun Rasulullah sendiri yang mengatakan ia mendapatkan surga. Sahabat tersebut adalah Al-Ushairim. Nama aslinya `Amru bin Tsabit bin Waqasy. Ia berasal suku `Aus, dari Bani Asyhal. Ketika Sa`ad bin Muadz masuk Islam beserta Suku `Aus lainnya, Ushairim belum terketuk hatinya untuk menerima Islam karena masih dibayangi keraguan.
Ketika terjadi Perang Uhud, Ushairim bertanya kepada Rasulullah SAW, di manakah Sa’ad bin Mu`adz? Di manakah teman satu sukuku? Nabi Muhammad SAW menjawab, mereka menuju Uhud. Ketika itu, ia sudah merasa mantap hatinya untuk menerima petunjuk Islam sehingga seketika itu juga ia menyatakan keislamannya pada nabi Muhammad SAW.
Setelah itu ia mengambil tombak, pedang dan menaiki kuda lalu bergabung dengan sahabat-sahabat lain. Pertempuran Uhud pun terjadi dengan sengit. Tentara kaum muslimin banyak yang mati syahid termasuk Ushairim. Ketika kabar meninggalnya dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau hanya berkata, “Ia termasuk penghuni surga.” Subhanallah, betapa mulianya Ushairim di mata Rasulullah sampai ia dikatakan sebagai penghuni surga. Padahal ia belum sempat shalat sama sekali. Di kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda, “Memang amal Ushairim sedikit tapi mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah SWT.”
Ushairim dengan amalnya yang sedikit mampu meraih momentum terbaik. Singkat tapi berkualitas. Kejadian yang dialami Ushairim mengajarkan kita tentang sebuah nilai amalan bahwa diterimanya amalan tidak tergantung banyaknya tetapi kebaikan yang terkandung di dalamnya. Walau amalan terhitung sedikit, tetapi bisa bernilai luar biasa karena dilakukan dengan penuh kesungguhan, keikhlasan dan ketulusan. Sedikit tapi berkualitas saja sudah bernilai luar biasa, apalagi jika kita melakukan amalan banyak tapi berkualitas tentu nilainya jauh lebih luar biasa