Salah satu aspek terpenting yang tak dapat diabaikan sama sekali dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam ialah soal kepemimpinan. Bagaimanakah potret keteladanan Rasulullah Saw. sebagai sosok pemimpin?
Tulisan ini mencoba untuk menampilkan sisi lain dari pribadi Rasulullah Saw. sebagai sosok pemimpin sebagaimana terangkum dalam khazanah literatur klasik Sirah Nabawiyah.
Kesempurnaan pribadi Rasulullah SAW tak akan ada habisnya untuk ditelaah. Beliau merupakan sosok yang Allah Swt. jadikan sebagai prototipe keteladanan bagi umat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an:
لَقَدْ كانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21)
Figur Rasulullah Saw. tak sama dengan kebanyakan pemimpin dan reformer lainnya, karena jika salah satu dari mereka hanya piawai dalam membuat planning politik, reformasi sosial, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Maka Rasulullah Saw. ialah sosok yang mampu mengkombinasikan semua itu.
Tatkala memegang tampuk kepemimpinan, Rasulullah Saw. senantiasa menjunjung tinggi sikap santun dan rendah hati. Beliau berinteraksi dengan baik terhadap pelbagai kalangan masyarakat, ramah, serta merakyat. Tak jarang, ketika sampai pada suatu golongan beliau selalu menyempatkan diri untuk duduk dan berbincang bersama mereka.
Rasulullah SAW sangat menghargai siapapun tanpa memandang strata sosialnya, baik itu penguasa maupun rakyat jelata.
Suatu hari, ada seorang pembesar kabilah datang menghadap beliau. Tanpa ragu-ragu beliau langsung menggelar serbannya untuk dijadikan alas duduk pembesar kabilah itu. Hingga pembesar kabilah tersebut merasa sungkan karena begitu dimuliakan oleh tuan rumah.
Di lain kesempatan, pernah suatu ketika ada salah satu sahabat yang datang terlambat di majelis beliau. Tempatnya sudah penuh dan sesak. Sahabat itu meminta izin kepada para sahabat lain untuk memberinya ruang duduk, tapi tidak ada satupun yang mau memberinya tempat. Akhirnya ia duduk di depan pintu.
Di tengah kebingungannya, Nabi Saw. melihat sahabat tersebut dan memintanya untuk duduk di samping beliau. Nabi Saw. pun melipat surbannya lalu diberikan kepada sahabat tadi untuk dijadikan alas duduk. Menerima perlakuan mulia Nabi Saw., berlinanglah air mata sahabat tadi. Diciumnya surban itu, kemudian ia kembalikan kepada Nabi Saw. dengan penuh haru. [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Al-Makki, Muhammad Al-Insan Al-Kamil (Surabaya: Hai`ah As-Shofwah Al-Malikiyyah), h. 252.]
Bahkan, dalam urusan rumah tangga sekalipun Rasulullah SAW sering mengerjakan kebutuhan rumah tangga beliau dengan tangannya sendiri. Posisinya sebagai kepala negara dan kepala keluarga tidak membuatnya enggan untuk melakukan hal-hal yang remeh sekalipun. Urusan-urusan yang umumnya dapat ditangani seorang istri, beliau lakukan sendiri demi meringankan beban dan tanggung jawab keluarga.
Hal ini terekam dalam Syamail Al-Muhammadiyyah karya pakar hadis Imam At-Tirmidzi (W. 279 H), ‘Amrah binti Abdurrahman meriwayatkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Sayyidah Aisyah, tentang apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika berada di dalam rumah. Putri Abu Bakar itu lantas menjawab:
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ، وَيَحْلُبُ شَاتَهُ، وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Layaknya manusia pada umumnya, beliau merendam pakaian, memerah susu domba, dan melayani diri sendiri (tidak berpangku tangan).” (H.R. Tirmidzi)
Itulah pribadi Rasulullah SAW, pemimpin sederhana dan bersahaja dalam menjalani keseharian hidupnya. Ketika sandalnya rusak, beliau memperbaikinya sendiri. Begitu juga saat pakaiannya sobek, beliau akan menjahitnya sendiri. Bahkan, dalam hadis diatas menurut Sayyidah ‘Aisyah, menjahit pakaian adalah hal yang paling sering dilakukan Rasulullah Saw.
Selain itu, terdapat kisah menarik yang disampaikan oleh Ibn Atsir (W. 630 H) beliau mengungkapkan kisah Zahir bin Haram dari suku Asyja’, ia merupakan satu dari sekian banyak orang dusun yang kerap berkunjung sowan menghadap Nabi di Madinah. Mengenai Zahir ini Rasulullah Saw. pernah bersabda di hadapan para sahabatnya: “Zahir adalah orang dusun kita dan kita adalah orang-orang kotanya.”
Suatu hari, Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut bukan kepalang serta ia berusaha melepaskan diri, sambil berkata: “Lepaskan aku, siapa ini?” Zahir kemudian menoleh, dan ternyata seseorang yang memeluknya itu adalah Rasulullah SAW. Ia pun semakin merapatkan punggungnya ke dada Nabi Saw.
Lalu, Rasulullah SAW melanjutkan candanya seraya berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” sedangkan yang dimaksud ialah Zahir itu sendiri. Zahir menanggapi Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, kalau demikian, maka saya adalah seorang budak yang tidak laku dijual.” Namun kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi.” [Abu Hasan Ali Izzuddin Ibn Atsir, Asad Al-Ghabah Fi Ma’rifah As-Sahabah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), vol. 2, h. 93.]
Sebagai seorang pemimpin suatu negara yang menaklukkan banyak imperium besar, tentu kita sulit untuk membayangkan bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya. Tetapi, itulah pemimpin agung Rasulullah Saw, tentu kita bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram seorang rakyat jelata yang tinggal di dusun, mendapatkan perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya.
Salah satu bentuk kepedulian Rasulullah SAW terhadap rakyat jelata adalah sikapnya terhadap tukang sapu masjid. Meski terjadi silang pendapat di kalangan pakar hadis, apakah ia sosok perempuan bernama Kharqaa’ atau seorang pemuda. Yang jelas, orang sekitarnya hanya tahu bahwa ia adalah perempuan berkulit hitam yang kesehariannya menyapu masjid dan membuang sampah. Seperti umumnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya.
Sampai suatu hari, Rasulullah Saw. tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, “Saya sudah lama tidak melihat tukang sapu di masjid, kemanakah gerangan orang itu?” Seperti kaget, beberapa sahabat menjawab, “Sudah sebulan yang lalu ia meninggal wahai Rasulullah.”
Bisa jadi para sahabat menganggap kematiannya tidak begitu penting hingga harus memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Tetapi, Rasulullah SAW dengan nada menyesali berkata, “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan sekarang padaku di mana makamnya!” Sahabat tersebut kemudian menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung itu menyalatinya, dan mendoakan perempuan tukang sapu itu. [Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani Al-Yamani, Nail Al-Author Syarh Muntaqo Al-Akhbar (Mesir: Dar Al-Hadis), vol. 4, h. 64.]
Kesulitan utama yang dialami pemimpin secara umum ialah mempertahankan kemanusiaannya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Sebab, biasanya ketika seseorang selalu dihormati sebagai pemimpin, kebanyakan orang menganggap dirinya tidak lagi seperti manusia biasa, atau ia sendiri menganggap orang lain tidak seperti manusia pada umumnya.
Namun, sang uswah hasanah kendati memegang urusan-urusan besar tidak membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, termasuk yang paling terpinggirkan sedikitpun. Baik sebagai pemimpin formal maupun non-formal tetap saja sulit dibayangkan, bagaimana bisa pemimpin seagung beliau, masih menaruh perhatian yang begitu besar terhadap seorang tukang sapu sekalipun, seperti diungkapkan pada kisah di atas. Semoga kita semua dapat meneladani dan mengikuti jejaknya. (AN)
Wallahu A’lam Bis Shawab.