Kisah Rasulullah SAW Bercanda dengan Pedagang di Pasar

Kisah Rasulullah SAW Bercanda dengan Pedagang di Pasar

Bagaimana Rasulullah, seorang pemimpin agama, sekaligus pemimpin politik berinteraksi dan bercanda dengan warganya.

Kisah Rasulullah SAW Bercanda dengan Pedagang di Pasar
Foto: www.bosmurah.com

Lelaki itu bernama Zahir ibn Haram. Salah seorang sahabat Rasulullah dari bani Aswaj yang tinggal di dusun. Pekerjaannya tak lebih dari seorang pedagang di pasar. Hanya sesekali saja ia pergi ke kota untuk berdagang dan sowan pada Rasulullah.

Ia memang salah satu sahabat yang rajin sowan ke Rasulullah meski harus menempuh jarak yang jauh untuk sampai ke Madina. Menjadi kebahagiaan baginya bisa bertemu dengan amiril mu’minin yang sangat dikasihinya, yang setiap laku, perkataan dan ketetapannya adalah sunnah.

Begitupun Rasulullah, seperti pada sahabatnya yang lain, beliau teramat senang pada Zahir. Setiap kali lelaki itu bertamu, beliau selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Sebuah hal yang kiranya mustahal kita temui pada pemimpin zaman sekarang yang senang menutup rapat istana-nya. Paling-paling hanya setahun sekali membuka pintu rumah, yang sering kita sebut sebagai ‘open house’.

“Zahir ini adalah orang dusun kita, dan kita adalah orang dusun dia,” ucap Rasulullah suatu kali kepada sahabat-sahabatnya yang lain ketika Zahir bertamu ke kediamannya.

Tak hanya itu, Rasulullah pun tak sungkan untuk berdekatan dan bercanda dengan Zahir. Ini terjadi pada satu waktu ketika beliau sedang pergi ke pasar dan melihat lelaki itu dengan pakaian lusuh tengah berjualan.

Diam-diam beliau memeluknya dari belakang. Sontak ia pun kaget dan mencoba melepaskan diri.”Lepaskan. Siapa ini?” Katanya.

“Siapa yang mau membeli budakku ini?” Tak melepaskan, Rasulullah justru memberi candaan dengan kalimatnya.

Mendengar suara yang sangat dikenalinya, Zahir pun malah merapatkan punggunggnya ke pelukan Rasulullah yang amat disanjungnya.

“Lihatlah ya Rasulullah, tak ada seorang pun yang mau membeli hamba.” Ia berkata lemah merasa sebagai seorang dusun yang tak ada harganya.

Pelukan di antara keduanya pun semakin erat. Beruntung nian Zahir hari itu sebagai seorang dusun mendapat perhatian sedemikian rupa dari Rasulullah. Penuh kasih dan ketulusan, alih-alih pencitraan macam pemimpin zaman sekarang.

“Tidak, Zahir. Hargamu sangat tinggi di hadapan Allah SWT.”

Kali ini Rasulullah berkata dengan serius. Ia masih memeluk Zahir.[]