Memahami agama dengan hanya menggunakan pendekatan nash dan dalil dalam Al Quran akan memupuk diri seseorang menjadi radikal dan kaku. Padahal, salah satu syarat menjadi seorang muslim moderat dan bercirikan kedamaian adalah memahami agama dengan berbagai pendekatan, salah satunya pendekatan historis.
Saya tidak meremehkan Al Quran sebagai sumber primer bagi umat Islam, tetapi alangkah indahnya jika kita memahami tidak hanya melalui Al Quran. Salah satunya adalah Sirah Nabawiyah. Di dalam sejarah kenabian banyak hal dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah yang sering luput dari pandangan umatnya. Bahwa beliau adalah seorang multikulturalis dan toleransi.
Sebagai kompromi adalah terwujudnya Piagam Madinah. Sebuah amandemen perdamaian antara suku-suku di Madinah dan berbagai agama. Bahwa dengan Piagam Madinah, Nabi, para sahabat dan masyarakat lain setuju untuk hidup damai sekalipun memiliki perbedaan dalam keyakinan.
Islam harus tetap kita lakukan sebaik mungkin, tapi kita harus memiliki kesadaran bahwa Islam yang kita pahami dan lakukan ini tidak mengurangi keharusan untuk bisa hidup bersama di tengah-tengah perbedaan dengan orang lain.
Ibnu Qoyim dalam Zadul Ma’adnya mengutip Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. Suatu ketika datang utusan dari Najran ke Madinah untuk menjalin kerjasama dan perjanjian damai dengan Nabi. Di tengah peristiwa itu, ada beberapa rombongan yang beragama Kristen yang hampir kehabisan waktu untuk beribadah Misa. Lantas, bertanya pada Nabi Muhammad,
“Ya Muhammad, di mana tempat yang bisa kami gunakan untuk beribadah Misa?”
Nabi menjawab, “Jika mau, silahkan di masjid itu.” Para sahabat kemudian berdiri, tapi Nabi berkata, “biarkan mereka.”
Lalu Ibnu Qoyim memberikan catatan pada kitabnya tentang peristiwa itu, “Tapi jangan dibiasakan!”
Tidak berhenti di situ, prilaku Nabi yang bercirikan multikulturalis dan toleransi. Ketika Abdullah bin Ubay, seorang tokoh munafik dan musuh Nabi di Madinah meninggal dunia, anaknya mendatangi Nabi dan mengabarkan bahwa ayahnya telah tiada. Demi ketenangan keluarga, si anak tersebut meminta gamis Nabi untuk digunakan mengkafani sang ayah. Seketika itu, Nabi melepas gamis yang dipakainya dan memberikan kepada anak Abdullah bin Ubay.
Ini menjadi bukti pendekatan historis tentang jiwa multikulturalis dan toleransi Nabi dalam kehidupan yang memiliki perbedaan. Dan pendekatan historis semacam ini tidak akan pernah kita jumpai dalam an nusus al maktubah fil Quraan.
Sebagai pamungkas, mengutip pesan dari Prof. Dr. KH. Qurais Sihab dalam pidatonya di Pesantren Tebuireng pada 12 Desember 2016, “Semua pendapat siapapun hendaknya kita hormati selama pendapat itu bercirikan kedamaian.” Wallahu a’alam bis sowab
Septian Pribadi adalah Pegiat literasi di Penerbit Tebuireng