Alkisah, pada masa Bani Israil. Terdapat kisah seorang saleh dari kalangan mereka yang dipilih oleh kaumnya untuk dijadikan raja. Ketika dijadikan raja, laki-laki tersebut memilih Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis sebagai tempat tinggalnya, sekaligus syarat kepada yang memilihnya. Ia memilih tinggal di atas masjid, supaya bisa tetap melaksanakan ibadah-ibadahnya.
Kisah seorang raja yang saleh ini dijelaskan oleh At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir. Terdapat sebuah hadis yang menceritakan bahwa setelah Nabi Musa As meninggal, Bani Israil mengangkat seorang pemimpin. Pemimpin tersebut adalah seorang yang saleh, rajin beribadah sehingga ketika diangkat menjadi pemimpin Bani Israil ia mensyaratkan supaya bisa tinggal di Masjidil Aqsha. Setelah dipilih, pemerintahan pun berjalan dengan kepemimpinan orang saleh tersebut. Di mana pada setiap malamnya, ia selalu beribadah kepada Tuhannya.
Hingga suatu malam, ketika raja tersebut melaksanakan shalat di Baitul Maqdis. Dia mengingat-ingat semua perkara yang pernah dilakukannya selama menjadi raja. Ia merenungi dirinya dan tugas-tugas yang dipikulnya. Dia kemudan berpikir tentang tempat kembalinya ketika meninggal nanti, termasuk pertanyaan Tuhannya kepada dirinya selama berkuasa. Sejauh mana dia berpegang kepada perintah-perintah-Nya. Ia kembali merenungi perilakunya selama berkuasa, dan merasa bahwa yang dijalankannya kurang begitu baik. Dia selalu berpikir, bahwa kehidupan yang dijalaninya telah menyibukkannya dan membuatnya jarang beribadah kepada Tuhannya.
Renungan-renungan tersebut kemudian mendorongnya untuk meninggalkan kekuasaan, dan kepemimpinan yang diembannya. Namun ia tertahan oleh kaumnya yang masih menginginkannya menjadi raja, sedangkan kaumnya tidak bisa untuk diperbaiki perilakunya. Akhirnya, dengan cara sembunyi-sembunyi dia pergi ke sebuah tempat yang tidak seorangpun mengetahui identitasnya. Dengan tujuan supaya bisa beribadah kepada Allah Swt, dan menjauhkan diri dari beban berat yang diemban yang bisa menjerumuskan dirinya pada kerusakan dan fitnah, yaitu kekuasaan.
Hingga suatu pagi setelah melakukan ibadah malam dan renungan-renungan, sang raja tersebut turun dari atas Masjidil Aqsha dengan sebuah tali supaya tidak diketahui oleh para pengawalnya. Sebab, jika diketahui tentu dia tidak akan diperbolehkan pergi sendirian dan tidak akan bisa meninggalkan kerajaannya.
Setelah berhasil pergi diam-diam, dia kemudian tiba di tengah suatu kaum yang berada di pinggir laut. Di tempat tersebut, ia bertemu dengan sebuah kaum yang sedang membuat batu bata. Ia kemudian bertanya, “Bagaimana kalian menerima upah dari bata ini?” orang-orang kemudian memberitahunya dan setelah diberitahu, sang raja yang meninggalkan kerajaannya tersebut ikut membuat batu bata bersama mereka.
Dari pekerjaannya tersebut, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia pun bisa makan, bahkan bersedekah dari hasil kerjanya. Ia juga tetap memegang keistiqamahannya, yaitu jika tiba waktu shalat ia selalu melaksanakannya. Orang-orang yang melihat hal tersebut, kemudian melaporkannya kepada pemimpin desa mereka. Bahwa di antara mereka terdapat laki-laki yang giat bekerja, rajin beribadah dan sederet pujian lainnya.
Mendengar hal tersebut, pemimpin desa kemudian mengundangnya. Namun selalu mendapatkan penolakan, sampai tiga kali berturut-turut. Akhirnya, pemimpin desa tersebut mendatanginya supaya bisa bertemu langsung. Ketika melihat pemimpin desa mendatanginya, sang raja yang menyamar tersebut justru melarikan diri.
Karena penasaran, sang kepala desa membuntutinya hingga berhasil menyusulnya. Kemudian kepala desa tersebut memanggil, “Tunggu, aku ingin berbicara denganmu”. Akhirnya sang laki-laki tersebut berhenti dan saling berbicara. “Aku tidak akan mencelakakan dirimu.” Ucap kepala desa, sambil bertanya, “Siapa kamu wahai hamba Allah? Semoga Allah merahmatimu.” Laki-laki tersebut kemudian bercerita, “Aku adalah fulan bin fulan, raja negara ini dan ini. Saat aku merenungkan urusanku, aku mengetahui bahwa apa yang aku jalani terputus, dan bahwa ia telah menyibukkanku dari ibadah kepada Allah. Lalu aku meninggalkannya dan datang kemari untuk beribadah kepada Tuhanku.”
Kepala desa tersebut kemudian berkata, “Kamu tidak lebih memerlukan apa yang kamu lakukan dari diriku.” Kemudian raja turun dari kendaraannya dan mengikuti jejak laki-laki tersebut. Kedua orang itu lantas beribadah kepada Allah Swt dan memohon kepada Allah Swt, agar dimatikan bersama. Mereka akhirnya beribadah bersama hingga meningal dalam waktu bersamaan juga.
Keputusan untuk meninggalkan sebuah jabatan atau kursi kekuasaan, bukanlah hal yang mudah. Karena dari jabatan tersebut, seseorang bisa mengendalikan rakyat dan memegang kendali segala urusan, bahkan memiliki kenikmatan tersendiri dalam jiwa. Sebab mempunyai jabatan atau kekuasaan bisa menundukkan dunia, mengatur rakyat atau pengikutnya. Bergelimang kenikmatan, memegang banyak uang dan berbagai kenikmatan lainnya.
Sehingga tidak mungkin orang meninggalkan sebuah kekuasaan, jika tidak ada pendorong yang kuat dalam dirinya, yang mengungguli bisikan-bisikan yang ada dalam diri raja-raja untuk tetap memegang kekuasaan pada umumnya.
Diantara mereka yang melepaskan jabatan, tentu ada alasan tersendiri. Misal karena mempunyai rasa takut kepada Allah Swt yang sangat besar, sebagaimana kisah raja di atas. Sebab dia khawatir, jika terus menjabat maka amalnya akan mencelakainya, dan Tuhannya murka karenanya. Sehingga dengan begitu mudah, dia meninggalkan kekuasaan dan berlepas diri darinya. Dia takut jika berterus terang menyampaikan niatnya kepada kaumnya, hal itu justru membuat mereka tidak mendukungnya. Sebaliknya, mereka memaksanya melakukan apa yang tidak diinginkannya.
Mungkin, dalam benak orang yang mendengar kisah raja ini akan bertanya, ”Bukankah lebih baik bagi kedua laki-laki ini jika keduanya tetap memegang kedudukan mereka lalu menggunakan kekuasaan itu untuk memperbaiki rakyat, memerangi kemunkaran, menegakkan kebaikan, dan menerapkan syariat Allah? ” tentu saja, hal ini perlu melihat situasi yang mengitarinya.
Sebab, sebagian orang yang lemah dalam urusan kepemimpinan. Dia tidak kuasa untuk berjalan di atas jalan yang sesuai amanah jika dia sebagai penguasa. Bahkan kekuasaan bisa menyeretnya kepada kerusakan. Namun jika dia mampu mengatur urusan-urusan rakyat, akan tetapi terdapat penghalang-penghalang di mana dia tidak bisa mengikisnya. Seperti, keburukan dan kerusakan telah mengakar di daerah yang dikuasainya, dan jika dia membawa mereka kepada jalan yang benar bisa jadi mereka akan melawan dan mengambil kekuasaan dengan cara-cara dosa.
Akan tetapi, jika seorang penguasa mampu mengarahkan kekuasaannya, memerangi kejahatan, dan menegakkan kebaikan, dan mendapat dukungan dari rakyatnya. Maka ketetapannya untuk terus memegang kendali kekuasaan, akan lebih baik dan lebih besar pahalanya daripada berkonsentrasi kepada ibadah. [rf]