Kisah ini asli dan nyata. Sebuah kisah seorang istri yang protes kepada suaminya yang belakangan dikenal sebagai ulama sufi. Pada mulanya, sang suami tidak begitu intens pada kajian sufi, ia bahkan pernah menjadi pengurus salah satu partai politik.
Kesufiannya mulai intens menurut penuturan istrinya seiring usianya bertambah.
Tidak dipungkiri, bahwa suaminya ini sosok yang cerdas, ulet dalam berbagai kajian turats, meskipun kemampuan public speaking-nya tidak begitu bagus.
Tidak terasa usia pernikahan yang begitu lama, telah mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga yang berliku. Orang lain mengira mungkin rumah tangganya selama ini baik-baik saja.
Sebagai perempuan yang merdeka, ia sebetulnya tidak setuju dengan perjodohan orang tuanya. Tradisi perjodohan ini begitu lekat dalam tradisi Pesantren. Mau apalagi, toh pernikahannya berlangsung meriah, sampai kini telah menjadi kakek-nenek yang telah banyak dianugerahi anak dan cucu.
Sebagai istri sebetulnya wajar, manakala ia mengharapkan kehangatan atau suasana rumah tangga seperti apa yang selama ini ia sampaikan dalam bentuk ceramah maupun tulisan.
Dalam benak istrinya, suaminya itu dirasa hanya pandai dalam menyampaikan ceramah dan menulis. Ia merasa rumah tangganya garing. Hari-harinya hampa, sudah menikah tetapi seperti tidak punya suami. Masing-masing keduanya kebanyakan diam, cenderung acuh. Bayangkan, kondisi seperti ini berlangsung puluhan tahun lamanya.
Hingga suatu saatnya tiba dalam sebuah pertemuan dengan banyak kolega. Sang istri tampak begitu yakin, tidak seperti biasanya, manakala dipersilakan untuk bicara di depan forum selalu menolak. Ia pun maju ke depan, mantap memulai pembicaraan tanpa basa-basi.
Di luar dugaan. Sang istri menyampaikan pesan yang menohok. Bahwa suaminya ini pandai menyampaikan ajaran-ajaran sufi, bahkan mengagumi para ulama sufi legendaris, tetapi sayang sekali, keberadaan Allah dan istrinya malah dikesampingkan. Allah yang Maha Sufi dan istrinya yang punya hak untuk mendapatkan kasih sayang dari suaminya malah dilewatkan.
Sejak mendengar kisah ini, saya jadi merenung. Agar jangan sampai kekaguman kita terhadap makhluk mengalahkan kekaguman kita kepada Khaliq (Sang Pencipta) dan termasuk istri kita. Tidak bijak kiranya apabila kita lebih perhatian kepada orang lain, ketimbang kepada orang-orang terdekat, apalagi itu adalah istri kita sendiri.
Merasa senang manakala mendapat sanjungan dari banyak orang, sementara istrinya sendiri yang selama ini mendampinginya luput dari sanjungan.
Hidupnya tidak tegas, klamar-klemer, seperti tidak punya pendirian.
Kisah ini pula yang menjadikan saya untuk menghargai keberadaan istri. Betapa tidak enaknya bukan kalau keberadaan kita tidak dianggap. Oleh karena itu, setiap ada undangan menyampaikan ceramah atau undangan apapun, selagi istri dan anak memungkinkan dibawa ikut, saya akan ajak mereka untuk ikut. Bahkan orang tua dan mertua juga sering saya ajak untuk ikut. Saya sendiri malah senang, karena dalam perjalanan di mobil tidak sepi.
Saya menyebutnya pseudo tasawuf. Tasawuf semu, bukan tasawuf humanis. Tasawuf nir-empati, tasawuf yang tidak membumi. Hanya bermain narasi, baik dalam lisan maupun tulisan. Ia tak lebih hanya topeng atau bungkus yang masih sangat jauh dari subtansi tasawuf sendiri.
Hanya fokus pada lafadz-lafadz zikir, tetapi zikir-zikir itu tidak bisa diwujudkan dalam realitas sosial, menjadi zikir sosial yang bermanfaat secara konkret. Tasawuf yang tidak ada korelasinya terhadap transformasi sosial.
Begitu juga manakala saya mendapatkan informasi berkenaan dengan acara-acara berlevel nasional maupun internasional di mana di dalam acara tersebut berkumpul banyak para ulama yang dianggap sufi, tetapi setiap tahun acara tersebut diselenggarakan hampir tidak ada manfaatnya bagi kehidupan dan transformasi sosial.
Biaya untuk acara seremonial itu entah menghabiskan berapa miliar rupiah, tetapi hampir tidak menyentuh pada problem-problem sosial yang selama ini menjadi jantung masalah bangsa ini.