Pada suatu masa, ada kisah seorang Nabi Allah yang sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan sang Nabi merasa lelah, akhirnya beliau berteduh di bawah pohon dari panas matahari yang menyengat. Namun tidak disangka, ternyata di sekitar pohon tersebut terdapat sebuah desa semut (qaryah al-naml). Nabi tersebut adalah Nabi Musa Alaihissalam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari bi Syarhi Shahih Bukhari.
Singgahnya Nabi Musa As beserta pengikutnya di bawah pohon, membuat para semut merasa tidak nyaman dan terganggu. Biasanya, ketika semut merasa terganggu dengan hadirnya makhluk lain di sekitarnya, ia melawan orang yang mengganggu ketenangannya. Akibat merasa terganggu, datanglah seekor semut menggigit Nabi Musa As. Di tengah keadaan lelah dan lapar, hadirnya semut yang menggigit tentu membuat beliau marah. Sebab Nabi juga seorang manusia, walaupun beliau mendapat kekhususan dari Allah Swt tetapi tidak bisa lepas dari adanya khilaf.
Nabi Musa As yang marah akibat gigitan seekor semut, kemudian memerintahkan kepada para pengikutnya untuk menjauhkan semua barang bawaannya dari pohon yang dijadikan tempat singgah. Nabi Musa As lalu membakar kawanan semut-semut yang ada di sekitaran pohon, termasuk tempat tinggal semut yang ada di situ. Para semut yang sedang berjalan-jalan di desanya dan di sekelilingnya pun ikut terbakar oleh panas api yang dinyalakan oleh Nabi Musa As, tidak terkecuali para kawanan semut yang masih berada di lubangnya dan berada di dalam tanah yang tidak tahu apa-apa.
Melihat apa yang dilakukan oleh Nabi Musa As, Allah Swt kemudian menegurnya dengan berfirman; “mengapa tidak seekor semut saja?” Sedangkan dalam Shahih Muslim, Imam Muslim meriwayatkan bahwasanya Allah Swt berfirman; “Hanya karena kamu digigit oleh seekor semut, lalu kamu membinasakan sebuah umat yang bertasbih kepada-Ku.”
Apa yang dilakukan Nabi Musa As adalah sebuah kekhilafan, sehingga Allah Swt menyalahkan dan mencela Nabi Musa As. Karena yang menggigitnya hanya seekor semut, namun beliau justru membunuh semua semut yang ada di situ. Jika memang mesti dihukum, seharusnya yang dihukum hanyalah semut yang menggigitnya bukan semua semut yang ada di situ. Seketika Nabi Musa As merasa bersalah atas perbuatan yang dilakukannya, sebab lebih menuruti nafsu amarahnya.
Semut juga merupakan makhluk dan umat ciptaan Allah Swt. Setiap yang diciptakan oleh Allah Swt, pasti ada manfaatnya. Dalam beberapa riwayat, bahkan mereka selalu bertasbih dan mensucikan Allah Swt seperti hewan dan ciptaan Allah Swt lainnya. Allah Swt sendiri telah memberitahu dalam surah Al-Isra ayat 44;
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.
Oleh karena itulah, seyogianya manusia tidak boleh membunuh dan menyerang semut atau hewan lainnya. Kecuali jika mereka memang menyakiti terlebih dahulu. Dalam hal ini, Rasulullah Saw pernah bersabda ada beberapa hewan yang boleh untuk dibunuh seperti cicak, anjing penggigit, kalajengking, tikus, burung gagak dan rajawali atau yang disebut dengan fawasiq. Allah Swt menyalahkan Nabi Musa As sebab beliau menghukum melampaui batas atau berlebihan. Beliau menghukum semut-semut yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa akibat kesalahan seekor semut.
Dalam Islam sendiri, kita berhak melawan orang atau hewan yang menyerang kita, walaupun hewan itu adalah hewan jinak. Semut tersebut menyerang dan menggigit, sehingga orang yang digigitnya menghukumnya, maka dia tidak disalahkan. Tetapi menghukum semua semut yang ada di desa itu dan membakar mereka dengan api, adalah sebuah hukuman yang melampaui batas dan penuh dengan ketidakadilan.
Kisah tentang Nabi Musa As tersebut adalah salah satu dalil tentang ketidakbolehan membunuh semut, sebagaimana tidak boleh membunuh binatang lain, kecuali binatang yang menyerang dan mengganggu. Selain itu, membunuh hewan dengan membakarnya hidup-hidup adalah sesuatu yang tidak dianjurkan bahkan tidak diperbolehkan dalam Islam. Sebab, yang berhak mengazab dengan api hanyalah sang pemilik api yaitu Allah Swt. Walaupun sebelum Islam datang, hal tersebut dibolehkan.
Apa yang dilakukan Nabi Musa As dalam kisah hidupnya tersebut adalah sebuah peringatan bahwa Allah Swt tidak menyukai perbuatan merusak, berlebihan dan ketidakadilan. Termasuk kepada semua makhluk ciptaan Allah Swt, baik itu binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Karena tujuan diciptakannya mereka juga bagian dari kesinambungan untuk menjaga kehidupan semua makhluk ciptaan-Nya yang ada di bumi, termasuk kesinambungan kehidupan umat manusia.
Bahkan Allah Swt berkali-kali memperingatkan kepada para hamba-Nya, terkait dengan berbagai perbuatan yang merusak dan perbuatan membawa kerusakan. Di antara larangan perusakan itu adalah perusakan terhadap tanaman dan binatang. Islam adalah agama yang sangat menganjurkan untuk berbuat saling mengasihi sesama makhluk Allah Swt, bukan hanya sebatas pada manusia tetapi juga binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena seluruh makhluk ciptaan Allah bertasbih kepada-Nya.
Wallahu a’lam bisshawab. [rf]