Kisah Rasulullah SAW Menerima Wasiat Harta dari Pendeta Yahudi

Kisah Rasulullah SAW Menerima Wasiat Harta dari Pendeta Yahudi

Kisah Rasulullah SAW Menerima Wasiat Harta dari Pendeta Yahudi

Mungkin ada yang bertanya, apakah boleh seorang muslim menerima hibah, wasiat harta, atau wakaf dari seorang non-muslim.? Sebuah kisah unik pernah diceritakan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab Sirah-nya. Pada saat Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau mempunyai seorang “sahabat” dari kalangan Yahudi. Ia bernama Mukhairiq, seorang pendeta Yahudi yang alim dan kaya raya. Dia memiliki beberapa kebun kurma yang terbentang di sepanjang kota Madinah. Dia sangat akrab dengan Nabi Saw dan sangat hafal dengan karakter serta sifat kesehariannya, namun sayang hatinya belum tersentuh untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hari demi haripun berlalu hingga datang suatu saat di mana terjadi perperangan Uhud antara kaum muslimin dengan non muslim Quraisy. Qatadah menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu, 11 Syawwal, tahun ke-3 hijriah. Pada perperangan ini, Syekh Muhammad Khudhari Bek mencatat kaum muslimin hanya berjumlah 1.000 pasukan, sementara itu pihak musuh mencapai 3.000 orang, sebuah perbandingan yang sangat tidak seimbang. Namun salah satu di antara seribu pasukan muslim itu terdapat seorang Mukhairiq. Dia memutuskan untuk ikut berperang membantu Rasulullah Saw dan umat Islam.

Sebelum berangkat perang, dia sempat berpesan kepada kaumnya, “Wahai orang-orang Yahudi sekalian, demi Allah sesungguhnya kalian akan mengetahui bahwa menolong Muhammad adalah sebuah keharusan bagi kalian”. Lalu kaumnya menjawab, “Bukankah sekarang hari Sabtu (hari peribadatan kita sebagai orang Yahudi?)”. Lantas Mukhairiq menjawab, “Tidak ada hari Sabtu bagi kalian (Tidak ada lagi peribadatan di hari Sabtu bagi kalian)”. Lalu ia menghunus pedangnya sembari berpesan, “Seandainya dalam perperangan ini saya meninggal dunia, maka seluruh hartaku saya serahkan kepada Muhammad agar dia berdayakan sesuai dengan kehendak Allah Swt”. Tidak lama setelah itu, iapun berangkat menuju Uhud untuk berperang bersama Rasulullah Saw.

Ketika perperangan berkecamuk, Mukhairiq terluka dan akhirnya meninggal dunia saat itu juga. Mendengar hal itu, Rasulpun berkata, “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi”. Lalu ia dimakamkan di satu tempat yang tidak jauh dari pemakaman kaum muslimin. Rasul tidak menyalatkannya dan juga tidak mendoakan keselamatan untuknya selain hanya kata-kata pujian seperti di atas. Setelah perang usai dengan kekalahan akibat kacaunya farmasi pasukan, Rasulullah menerima hibah/wasiat/wakaf yang pernah disampaikan oleh Mukhairiq dahulu. Lalu beliau mewakafkannya untuk kepentingan agama Islam dan kaum muslimin.

Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah, menyebutkan bahwa wakaf yang dilakukan Nabi saat itu yang bersumber dari pemberian Mukhairiq adalah wakaf pertama kali yang dilakukan oleh Nabi di kota Madinah. Namun dalam riwayat ini, al-Bidayah wa al-Nihayah, terdapat kecenderungan penulisnya, Ibnu Katsir, menghukumi Mukhairiq sebagai muslim lantaran kata-katanya yang mengajak kaumnya untuk ikut berperang dan membantu Nabi Muhammad Saw. Sebuah keterangan yang berbeda dengan apa yang penulis temukan dalam salah satu riwayat dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’ad di atas.

Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, penulis tidak menemukan riwayat spesifik yang menyebutkan kalau Mukhairiq mengucapkan syahadat di hadapan Rasul. Bahkan dalam salah satu riwayat dalam Thabaqat Ibn Sa’ad di atas, Mukhairiq tidak disalatkan oleh Nabi dan beliaupun tidak mendoakan keselamatan untuknya sebagaimana yang selalu beliau lakukan untuk sahabat-sahabatnya yang muslim. Hal itu ditambah lagi dengan makam Mukhairiq yang tidak disatukan dengan pemakaman kaum muslimin. Data-data ini mengindikasikan kalau Mukhairiq belum menyatakan diri untuk masuk agama Islam kepada Nabi, sekalipun secara tersirat mungkin saja dia sudah muslim sebelum berangkat perang.

Seandainya benar Mukhairiq sudah muslim sebelum berperang, maka mungkin hibah/wasiat harta/wakaf yang dia berikan kepada Nabi dan diterima oleh beliau tidak akan menjadi persoalan. Namun bagaimana seandainya dia memang belum dianggap muslim sebagaimana data-data yang sudah penulis lampirkan. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh bagi seorang muslim menerima hibah/wasiat harta/wakaf dari non muslim.? Badran Abu al-‘Aynain dalam karyanya al-‘Alaqah al-Ijtima’iyyah bayn al-Muslimin wa Ghair al-Muslimin menyebutkan adanya kesepakatan ulama terkait kebolehan hal tersebut.

Seandainya pemberian Mukhairiq kepada Nabi itu dikategorikan sebagai wakaf, maka Ibnu Qudamah dalam karyanya al-Mughni dan al-Khathib al-Syirbini dalam karyanya Mughni al-Muhtaj menggarisbawahi tidak adanya syarat harus muslim bagi seseorang yang akan berwakaf. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw langsung menerima pemberian tersebut tanpa mempertanyakannya terlebih dahulu. Hanya saja perbedaan antara wakaf dari seorang muslim dengan non muslim terletak pada status jariyah (aliran) pahalanya saja. Wakaf yang dikeluarkan oleh seorang muslim pahalanya akan tetap mengalir hingga kapanpun selama harta wakafnya masih dipergunakan, sementara dari non muslim tidak. Allahu A’lam