Bicara tentang kisah Nabi Ibrahim, ingatan saya auto mendarat pada ayat 258 surah al-Baqarah. Ya, ia merekam sekuel mimbar debat antara seorang pemuda militan dengan penguasa yang kesombongannya kelewat semongko. Begini bunyi ayatnya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّه يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Ibn Katsir mencatat bahwa lawan debat Ibrahim adalah bernama Namrud, seorang penguasa di Babil, diduga terletak di kawasan Mesopotamia bagian Selatan. (Sebagian sejarawan menyebut kota itu bernama Baghdad di era kiwari)
Dan, ya, perdebatan itu tentulah meniscayakan logika tingkat tinggi. Dalam redaksi asli, al-Qur’an menyebut “fabuhita” ketika mengambarkan situasi pamungkas dari perdebatan. FYI, teks “fabuhita” adalah bentuk pasif, berasal dari bahita, yabhatu, bahatan yang mengandung makna membungkam (dengan argumentasi). Namrud (alladzi kafar), dengan demikian, telah secara benderang dibungkam oleh Ibrahim.
Jelas, ini bukan debat Capres. Tidak ada moderator, apalagi suporter yang berimbang. Toh, nyatanya setelah perdebatan itu selesai, Ibrahim tidak lantas diangkat menjadi menteri atau koalisi.
Maka, jauh sebelum sebelum Nicollo Machiavelli bilang bahwa “hukum tidaklah perlu jika semua berjalan baik-baik saja”, rupanya Namrud telah menerapkan falsafah itu. Pemerintah yang tangguh, demikian Machiavelli, mengerti betul bagaimana cara mengelola masyarakat, salah satunya adalah membuat semua orang merasa bahwa manusia itu seolah-olah jahat, sehingga tak akan berbuat baik kecuali terpaksa. Dan, hukum hanya akan berlaku jika stabilitas negara terganggu.
Ibrahim patut dihukum. Vonisnya adalah bakar hidup-hidup, bila perlu ditonton publik agar pesannya menjadi jelas bahwa seorang pemuda militan telah mengancam keberangsungan rezim. Tapi kuasa Tuhan akhirnya ikut campur menyelamatkan Ibrahim, tanpa perlu mengancam Allah kalau-kalau tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu jika kami kalah. Lidah api yang menjilati tubuh Ibrahim senyatanya tidak mampu memberi efek hangus. Bahkan, tidak lecet saja belum.
Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman, “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim, “mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi (Q.S. Al-Anbiya ayat 68-70).
Maka, meradanglah Namrud. Malu, gusar, dan sudah tentu kemarahannya semakin naik pitam. Lha gimana, kekuasaan yang telah Namrud pertahankan mati-matian itu dihina persis di depan mukanya.
Sejurus kemudian, Ibrahim, bersama Luth (saudara) dan Sarah (istri), memutuskan untuk mencari suaka ke negeri seberang. Kelak, dalam pengembaraannya itu, Nabi Ibrahim bertemu Hajar dan menikah, dan melahirkan Ismail.
Sebuah kisah menyebut kalau sebelum meninggalkan Babilonia, Ibrahim sempat membakar kuil yang berisi patung. Jelas, keberaniannya seolah tanpa rem. Maka, pantas saja jika ia dijuluki moyangnya para utusan Tuhan.
Terpisah, al-Qur’an merekam bantahan Ibrahim atas aksi revolusionernya.
Maka dia (Ibrahim) menghancurkan (berhala-berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induknya); agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang yang zalim.” Mereka (yang lain) berkata, “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim.” Mereka berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan.” Mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, “Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).” Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” (Q.S. al-Anbiya: 58-65).
Tangkas, cerdas, dan beringas. Begitulah Ibrahim. Keyakinannya bulat, keberaniannya utuh. Siluet dalam ayat di atas menegaskan bahwa Ibrahim sengaja berbohong untuk memutus mata-rantai kepercayaan yang naif cum manipulatif. Kini, berhala bukan lagi simbol yang sakral, tapi monumen kedunguan masyarakat setempat. Lewat aksinya, Ibrahim seolah memaksa kaum kafir agar berkaca, melihat ketololan mereka sendiri.
InsyaAllah Bersambung…